Kata kunci seperti “Brimob”, “rantis”, dan “Polri” dalam analisis semantik menegaskan bahwa publik memandang tragedi ini sebagai kegagalan aparat.
Narasi “Polri musuh bersama” adalah alarm serius tentang krisis kepercayaan terhadap institusi negara. Dalam masyarakat yang tengah mengalami transformasi digital, krisis kepercayaan semacam ini cepat membesar karena media sosial berfungsi sebagai amplifier.
Krisis kepercayaan ini berbahaya. Ia bisa melemahkan iklim investasi, menggerus rasa aman masyarakat, dan memperlambat transformasi digital yang tengah berjalan di berbagai sektor.
Apabila aparat dianggap tidak profesional dan represif, maka masyarakat akan lebih memilih jalur informal atau bahkan konfrontatif dalam menyampaikan aspirasi.
Transparansi, Akuntabilitas, dan Reformasi Aparat
Ismail Fahmi merekomendasikan transparansi, akuntabilitas, dan pendekatan humanis dalam pengelolaan aksi massa.
Dari kacamata transformasi digital, tuntutan ini sejalan dengan prinsip open governance yang menekankan keterbukaan data, partisipasi publik, dan akuntabilitas institusi.
Mabes Polri memang sudah menahan tujuh anggota Brimob serta menyatakan mereka akan diproses melalui sidang etik. Kapolri juga telah menyampaikan permohonan maaf.
Namun, langkah-langkah tersebut belum cukup mengembalikan kepercayaan publik. Tanpa reformasi mendasar terhadap SOP pengamanan dan pola interaksi aparat dengan masyarakat, peristiwa serupa akan berulang.
Reformasi aparat harus dipandang bukan hanya sebagai isu hukum atau politik, tetapi juga sebagai prasyarat bagi kelanjutan transformasi digital. Sebab, masyarakat yang percaya pada negara adalah fondasi utama bagi stabilitas sosial yang mendukung inovasi digital dan ekonomi baru.
Tragedi Affan Kurniawan membuka mata kita bahwa transformasi digital bukan hanya soal teknologi, melainkan juga soal keadilan sosial.
Tanpa perlindungan yang adil bagi para pekerja digital, tanpa aparat yang profesional, dan tanpa negara yang transparan, transformasi digital akan berjalan pincang.
Kita membutuhkan momentum ini sebagai titik balik. Pemerintah harus menegakkan akuntabilitas secara nyata, membuka ruang dialog dengan komunitas ojol dan kelompok sipil lain, serta melakukan reformasi kepolisian yang humanis.
Jika tidak, narasi “rakyat kecil dilindas negara” akan semakin melekat, dan krisis kepercayaan akan semakin dalam.
Sebagai penutup, Affan Kurniawan bukan sekadar nama. Ia adalah simbol dari kegagalan sistem yang harus diperbaiki. Melalui solidaritas digital, masyarakat sudah menunjukkan bahwa mereka tidak akan tinggal diam.