Scroll untuk baca artikel
Blog

Agama dan Kekerasan – Relasi Sosiologis dan Politis

Redaksi
×

Agama dan Kekerasan – Relasi Sosiologis dan Politis

Sebarkan artikel ini

Jika aku bisa mengayunkan tongkat sihirku dan harus memilih apakah melenyapkan perkosaan atau agama, aku tidak akan ragu-ragu lagi untuk melenyapkan agama,” tulis Sam Harrris, tokoh yang dianggap salah satu oknum dalam The Unholy Trinity of Atheism.

DUA orang oknum lainnya adalah Daniel Dennett dan Richard Dawkins. Mereka sepakat bahwa agama sudah semestinya ditinggalkan manusia bukan karena alasan teologis, tetapi malah kata Harris, “agama telah menjadi sumber kekerasan sekarang ini dan pada setiap zaman di masa yang lalu”.[1]

Beberapa waktu yang lalu, Al Jazeerah menaikkan berita tentang kekerasan yang menimpa umat kristiani dan muslim di India. Pemerintah India berada di bawah tekanan untuk mengekang tumbuhnya ujaran kebencian dan serangan terhadap minoritas agama.

Organisasi hak asasi manusia di seluruh dunia membunyikan alarm di India. Mereka mengatakan ujaran kebencian memicu kekerasan dan intoleransi terhadap minoritas ke tingkat yang belum pernah terlihat sebelumnya.

Serangan baru-baru ini terhadap Muslim dan Kristen adalah beberapa yang terburuk yang terlihat di negara ini. Beberapa politisi, terutama yang memiliki hubungan dengan BJP yang berkuasa, telah dituduh menghasut dan juga mempromosikan kekerasan terhadap kelompok minoritas. Demikian berita Al Jazeera menyebutkan.

Ruh agama sebagai ajaran universal telah terpisah!

Kekerasan lewat motif agama seakan tidak pernah luput dari berita  kehidupan kita dalam bermasyarakat, secara nasional dan internasional. Orang dengan mudah melakukan penyerangan, penghinaan, perusakan hingga penyiksaan, bahkan pembunuhan. Labelisasi sering menjadi pemicu disebabkan perbedaan pandangan atau pilihan dalam bermazhab.

Namun belakangan, saya mulai memahami bahwa, kekerasan antar umat beragama sering berkorelasi dengan berbagai permasalahan sosiologis dan politis. Kekuasaan dan dominasi politik seakan menjadi motif dihalalkannya berbagai cara untuk menegasikan perbedaan, bahkan menghilangkan perbedaan itu sendiri dengan cara yang tidak manusiawi.

Ruh agama sebagai pedoman kehidupan, terpisah dari pemahaman pemeluknya atas teks atau ayat sebagai dasar untuk  menjustifikasi setiap perbuatan. Sampai hari ini, perbedaan pemahaman di kalangan umat muslim tentang mengucapkan “selamat natal” kepada saudaranya yang sebangsa terus jadi polemik dan debat kusir yang tidak produktif.

Kemudian kekerasan secara verbal muncul di media sosial. Saling menyerang dengan argumennya masing-masing menarik kehidupan beragama terpojok dan sempit  dalam kungkungan doktrin akidah – sesuai ajaran ulama (pemilik otoritas ajaran agama) dalam kelompok tentunya. Pesan moral akhlak beragama dan nilai universalitas agama jadi buram. Tergantikan warna identitas yang dipropagandakan secara membabi buta.

Propaganda ajaran sebagai relasi kekerasan perspektif sosiologis dipromosikan sedemikian rupa. Kadang tanpa merasa malu dan diiringi sikap arogan, doktrin agama yang berasal dari pemahaman pemimpin kelompok, ulama, menjelma menjadi legalitas penghakiman atas nama mensucikan agama dari pemahaman yang salah, sesat menurut versi pemahaman kelompok tersebut.

Lucunya lagi, area konflik mudah meluas memasuki kepentingan politis. Semakin asyik untuk dijual, “digoreng” sebagai isyu. Agar politisi bisa mendekati kelompok yang terlanjur merasa harus ada batasan yang ketat dari hasil olah pikir absurd tentang perbedaan pemahaman.

Lalu mereka membuat berbagai kampanye negatif, berita hoaks, hingga fitnah keji kepada lawan politik atas nama agama, padahal demi kepentingan elite politisi, miris!. Untuk kasus  kekerasan atas nama agama  secara sosiologis, kita bisa merujuk dari cerita di dalam negeri, bagaimana komunitas muslim Syiah di Sampang Madura yang terusir dari tanah kelahirannya, dan berakhir dengan “tekanan” penguasa lewat kesepakatan “damai”.