Tentu pribumi hanya diberi kesempatan terbatas bisa mengenyam pendidikan dan dipersiapkan untuk jenis pekerjaan terbatas (pekerjaan rendahan), kecuali orang-orang tertentu. Dan yang lebih penting, sekolah tak membangun watak dan jatidiri yang berbasis budaya sendiri.
Itu mengapa, dulu Agus Salim menolak anaknya masuk ‘sekolah modern’ Belanda. Sekolah, hanya mencetak manusia inlander, mental terjajah, mental inferior utamanya terhadap para tuan Belanda. Produk sekolah hanya menyiapkan menjadi tukang. Tak ada pembentukan jiwa-jiwa merdeka dengan cita rasa budaya sendiri.
Agus Salim memilih anaknya dididik sendiri di rumah yang dalam istilah sekarang disebut home schooling. Dan sebagaimana dicatat dalam sejarah, Anak anak Agus Salim tumbuh layaknya buah jatuh tak jauh dari pohon.
Watak, kemampuan bahasa, dan kemampuan literasi anak-anak Agus Salim mengikuti jejak ayahnya. Home schooling yang diterapkan Agus Salim adalah bentuk perlawanan kalau tidak boleh dibilang kritik pendidikan pada masa itu.
Tak bisa dipungkiri, setelah bangsa ini merdeka sistem pendidikan nasional bukanlah rancang bangun baru. Sistem pendidikan yang diterapkan bukan misalkan taman siswanya Ki Hajar Dewantoro atau model pesantren yang merupakan pendidikan lokal masa itu.
Sistem pendidikan kita adalah kelanjutan pendidikan Belanda dengan beberapa modifikasi. Masalah pokok dalam pendidikan warisan Belanda itu adalah sebagaimana yang dikritik Agus Salim, berorientasi pada mencetak pekerja (tukang) dan tidak membentuk jiwa merdeka yang berbasis budaya sendiri. []
Adib Achmadi, Penulis tinggal di Slatri, Brebes