Scroll untuk baca artikel
Lingkungan

Aktivis Lingkungan Desak Unilever Hentikan Produksi dan Konsumsi Kemasan Sachet

Redaksi
×

Aktivis Lingkungan Desak Unilever Hentikan Produksi dan Konsumsi Kemasan Sachet

Sebarkan artikel ini

Kemasan plastik sachet menyumbang 16 persen sampah plastik yang ditemukan di perairan dan lingkungan di Indonesia.

BARISAN.CO – Saat ini, hampir setiap produk Fast Moving Consumer Goods (FMCG) seperti dari perusahaan Unilever menyediakan kemasan sachet. Mulai dari sampo, detergen, kecap, pembersih lantai, sabun cuci piring, dan lain sebagainya.

Itu dimaksudkan agar lebih ekonomis juga bisa langsung membuang kemasan setelah mengonsumsinya. Sebanyak 855 miliar kemasan sachet kecil dibuang setiap tahunnya.

Mendaur ulang jutaan ton plastik sekali pakai yang dihasilkan setiap hari menjadi tantangan sangat besar. Sebab, kemasan sachet terdiri dari multi-lapisan polimer, alumunium, dan film kompleks yang dirancang untuk membantu menjaga produk tetap segar dan hampir tidak mungkin untuk didaur ulang.

Berdasarkan rilis yang diterima oleh Barisanco, kemasan plastik sachet menyumbang 16 persen sampah plastik yang ditemukan di perairan dan lingkungan di Indonesia. Secara konsisten, Unilever berada di antara tiga teratas perusahaan pencemar dari audit merek baru-baru ini di beberapa kota besar.

Rabu (15/6/2022), para aktivis lingkungan berkumpul di area Indonesia Convention Exhibition (ICE), di mana PT Unilever Indonesia Tbk menggelar Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) Tahunan 2022 untuk mendesak perusahaan tersebut menghentikan produksi dan konsumsi sachet.

Anggota Aliansi Zero Waste Indonesia (AZWI) membawa manekin berbalut sachet bermerek produk-produk Unilever, yang sebagian besar dikumpulkan dari kegiatan bersih sungai dan pantai di Indonesia.

Direktur Eksekutif Ekologi Observasi dan Konservasi Lahan Basah (ECOTON), Prigi Arisandi, mengatakan, hasil audit merek dalam Ekspedisi Nusantara menyebutkan Unilever secara konsisten menempati peringkat tiga besar perusahaan pencemar lingkungan di beberapa kota besar yang dilakukan selama 300 hari perjalanan menyusuri sungai-sungai di Indonesia. Selain melakukan audit merek, ECOTON yang juga merupakan anggota AZWI, turut mendokumentasikan polutan mikroplastik di sungai.

“Sebagian besar pencemaran mikroplastik adalah filamen yang telah terfragmentasi dari film plastik dan kemasan sachet,” kata Prigi.

Unilever telah berkomitmen untuk memastikan semua kemasan plastik, termasuk sachet, dapat digunakan kembali, didaur ulang, atau dapat dikomposkan pada tahun 2025. Unilever juga telah bergabung dalam Traktat Plastik Global yang mengikat secara hukum, UNEP pun setuju untuk bertanggung jawab pada siklus hidup plastik secara menyeluruh.

“Kami telah berulang kali meminta Unilever, serta Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), untuk membagikan Peta Jalan Pengurangan Sampah mereka, tetapi hingga saat ini tidak ada dokumen yang dibuka untuk umum,” jelas Juru Kampanye Urban Greenpeace Indonesia Muharram Atha Rasyadi.

Dia melanjutkan, dirinya tidak kaget jika Unilever dengan bangga memamerkan daur ulang bahan kimia dan RDF di pabrik semen yang merupakan solusi palsu dalam rencana keberlanjutannya.

Sementara sachet ada di seluruh dunia, mereka justru meledak di negara berkembang di Asia karena taktik komersial agresif dari perusahaan raksasa yang menggunakan sachet sebagai bahan bakar ekonomi produk murah.

Meski demikian, Unilever terus mempromosikan sachet di Asia Tenggara dan India, dengan menggambarkan model bisnis ini sebagai “pro-masyarakat menengah ke bawah”. Lebih buruk lagi, saat ini Unilever mempertahankan fokus pada penanganan di akhir yang sangat berpolusi seperti insinerator dua tahap di pabrik semen dan teknologi daur ulang bahan kimia CreaSolv.

“Studi kami dengan Global Alliance for Incinerator Alternatives (GAIA) tahun lalu menunjukkan bahwa daur ulang kimia di Indonesia yang dipromosikan oleh Unilever tidak berhasil, kemasan sachet mereka tidak dapat didaur ulang secara berkelanjutan dan aman. Mereka juga harus berhenti mengirimkan sampah sachet mereka ke RDF (refuse-derived fuel) karena teknologi ini juga mencemari saluran air dan kualitas udara, serta dapat memperburuk perubahan iklim,” ujar Koordinator AZWI, Rahyang Nusantara.