BARISAN.CO – Kabar duka datang dari industri film tanah air. Aktor senior sekaligus sastrawan Ikranegara meninggal dunia di usia 79 tahun pada Senin (6/3/2023).
Kabar duka tersebut dibagikan oleh sang anak, Innosanto Nagara, dalam akun Facebook-nya.
“Berita duka. Innalillahi Wa Inna Ilaihi Roji’un. Telah berpulang ke Rahmatullah, Suami, Ayah, Datuk tercinta kami: H. Ikranagara pada usia 79 tahun di Bali,” tulis Innosanto Nagara dikutip Selasa (7/3/2023).
Dia mengembuskan napas terakhir di Pulau Dewata setelah sempat berjuang sembuh melawan sakit.
Ketua Humas PARFI, Evry Joe, menyebut Ikranagara sempat tinggal di Amerika Serikat. Namun berhubung jatuh sakit, maka dia pun memutuskan untuk kembali ke Bali dan meninggal di sana kemarin.
“Sakit beliau 4 tahun ini sakit stroke dan beliau pindah ke Bali karena asalnya di Bali,” jelas Evry Joe.
Profil Ikranagara
Mengutip dari laman kemendikbud.go.id, Ikranagara, dramawan, pernah menjadi pemimpin Teater (Siapa) Saja. Dia tergolong seniman yang serba bisa.
Anak pertama dari sepuluh bersaudara ini dilahirkan di kota Negara, daerah Loloan, suatu perkampungan muslim di Bali Barat, 19 September 1943.
Ibunya berdarah Jawa-Bali, bekerja sebagai guru sekolah rakyat pada zaman revolusi, dan ayahnya berdarah Makassar-Madura, bekerja sebagai pedagang kelontong.
Dia belajar membaca dan tafsir Alquran, tajwid, serta buku kuning pada seorang kiai di salah satu pesantren di Loloan.
Tahun 1969, ketika masih menjadi “seniman gembel” di TIM, ia bertemu dengan seorang gadis dari California bertitel M.A., Kay Glassburner, yang sedang mengadakan penelitian sosiolingustik tentang dialek Betawi.
Tahun 1970 mereka menikah dan dari pernikahan itu mereka dikaruniai dua orang anak laki-laki, Inosanto (lahir 1970) dan Bino (lahir 1980). Di lingkungan keluarga, mereka menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa sehari-hari.
Pendidikan
Saat bersekolah di SR, ia mempunyai kawan yang ayahnya seorang dalang. Dari ayah temannya itulah ia banyak mengenal istilah pewayangan, profesi dalang, dan berbagai cerita, seperti Ramayana dan Mahabarata.
Karena ikut ayah temannya mendalang, ia sering bolos mengaji. Setamat SR, ia melanjutkan pendidikannya ke SMP lalu ke SMA-B di Singaraja.
Ikranagara merasa beruntung karena ketika masih kecil, ibunya aktif membelikan buku-buku, novel, dan berlangganan buku terbitan Balai Pustaka. Waktu itu di kota kecil, tempat kelahirannya, jarang orang membaca buku seperti yang dilakukan keluarganya.
Ketika ia bersekolah di SMA, kepala sekolahnya juga selalu meminjamkan bukunya karena tahu bahwa Ikra sangat tergila-gila pada buku.
Setelah tamat SMA, ia melanjutkan pendidikannya ke Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada (UGM), menyusul Putu Wijaya yang telah lebih dahulu menjadi mahasiswa Fakultas Hukum di sana. Baru setahun mengikuti kuliah di fakultas itu, ia pindah ke Fakultas Kedokteran.
Tahun 1966, setelah terjadinya peristiwa G-30-S/PKI yang berkaitan dengan terjadinya pergolakan mahasiwa, suasana berkesenian benar-benar lumpuh. Dia ikut berdemonstrasi, bahkan ia dipercaya sebagai penghubung Yogyakarta-Jakarta. Ketika suasana bertambah gawat, ia kembali ke Bali. Karena kesepian dan kuliahnya berantakan, ia pindah ke Jakarta.
Di Jakarta ia masuk Fakultas Psikologi, Universitas Indonesia, dengan maksud agar memperoleh pengetahuan untuk kesenian. Namun, di fakultas tersebut ia juga merasa jenuh dan kuliahnya tidak pernah selesai.
Tahun 1973 ia berangkat ke Hawaii mendampingi istrinya yang akan menyelesaikan program Ph.D.-nya. Mereka tinggal bersama mertuanya, tetapi Ikra berkeliling ke sana kemari. Kesempatan itu dipergunakannya untuk memperdalam pengetahuannya di East West Centre, Universitas Hawaii. Setelah istrinya meraih gelar Ph.D., tahun 1975, mereka kembali ke Indonesia.