DI masa saya kanak, alun-alun adalah sekolah kami. Di pasar rakyat dan tempat pertemuan itu kami belajar secara hidmat.
Guru kami adalah para hero dan spiritualis. Ada Pak Epen tukang obat dengan atraksi sangkurnya, Pak Sungeb ahli nujum dengan kartu tarot yang dicocol burung gelatik dari sangkar kecil.
Lalu teater bodor-encle, semacam perpaduan antara lawak dan tari dalam iringan musik gamelan minimalis.
Kala lapar kami icip-icip tape. Minumnya mudah, di Masjid Agung air selalu melimpah.
Itulah maksud Fatahilah sang pencipta alun-alun dalam naungan pohon beringin serupa raksasa malam, dan di siang hari rumah singgah bagi kami.
Tapi kini tak ada lagi keindahan itu.
Alun-alun telah diubah menjadi taman berpagar, play deck dan rumput plastik. Tidak ada pertemuan manusia dengan manusia. Tak ada sekolah bagi anak cucu kami.
Perubahan alun-alun setara pembangunan kota yang dibangun sebagai kota dunia. Metropolitan, megapolitan. Lalu orang-orang yang tersisih dan tersingkir.
Ya, keindahan telah berubah menjadi kemewahan.***