Scroll untuk baca artikel
Kolom

Ambivalensi Jokowi di Ujung Masa Jabatan

Redaksi
×

Ambivalensi Jokowi di Ujung Masa Jabatan

Sebarkan artikel ini
Jokowi di Ujung Masa Jabatan
Foto FB: Presiden Joko Widodo

Dalam fakta ini saja dapat dikatakan bahwa ada ambivalensi dalam pemerintahan saat ini jelang pergantian kekuasaan 2024

Oleh: Syafinuddin Al-Mandari
(Peneliti Rumah Restorasi Indonesia)

LEMBAGA Survei Indonesia (LSI) merilis hasil survei yang memperlihatkan bahwa tingkat kepuasan atas kinerja Presiden Jokowi mencapai 76 persen. Dapatkah data ini dibaca bahwa sebagian besar masyarakat Indonesia menyatakan puas atas kinerja Presiden Jokowi?

Media-media yang meliput hasil survei tersebut menyatakan bahwa faktor yang memengaruhi capaian tersebut adalah program bantuan langsung kepada masyarakat bawah.

Meski demikian perlu selalu dibaca detail hasil survei yang memperlihatkan bahwa masyarakat dengan tingkat ketidakpuasan tinggi juga dapat disebut masih tinggi.

Dalam pada itu, responden yang menilai kondisi ekonomi sedang sebanyak 33,7 persen, baik 26 persen, dan sangat baik 4,1 persen. Itu berarti bahwa hanya 4,1 persen responden yang menyatakan bahwa kondisi ekonomi Indonesia sangat baik.

Jika dibandingkan dengan 11,7 persen yang menyatakan kondisi ekonomi Indonesia sangat buruk memperlihatkan derajat komparasi yang cukup jauh. Bahkan dapat dikatakan bahwa ada diskrepansi yang menganga lebar dari fakta keadaan ekonomi rakyat dengan pernyataan kepuasan 4,1 responden dalam survei tersebut.

Namun demikian, harus diakui bahwa secara metodologis hasil survei yang kemudian menyimpulkan tingkat kepuasan terhadap kinerja Presiden Jokowi dari sudut pandang ekonomi mencapai 76 persen dapat dipercayai.

Apakah indikator ekonomi yang diangkat dalam survei tersebut sudah cukup untuk membaca Indonesia jelang transisi kepemimpinan 2024?

Seharusnya dilihat dari berbagai sudut pandang. Salah satunya adalah keberlanjutan demokrasi. Rasanya tidak fair jika kinerja Presiden Jokowi hanya diukur dengan indikator ekonomi, apalagi jika dipersempit pada program bantuan langsung saja.

Kinerja dalam aspek demokrasi tidak kalah pentingnya. Justru inilah yang memperlihatkan ambivalensi.

Ketika Indonesia memerlukan sebuah proses keberlanjutan demokrasi yang makin mantap, ujung pemerintahan Presiden Jokowi justru diwarnai dengan keburukan praktik penatakelolaan demokrasi dalam dua aspek sekaligus: etik dan politik pemerintahan.

Secara etis, Presiden Jokowi membiarkan proses-proses yang melecehkan akal sehat. Kisruh dalam Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang meloloskan Gibran Rakabuming Raka, Walikota Solo, sebagai calon wakil presiden dalam pemilihan umum mendatang. Konsekwensinya, tertib kelembagaan negara (politik pemerintahan) pun mendapat imbas buruk yang sangat serius.

Dalam sejarah demokrasi di Indonesia, ini dapat disebut sebagai pengulangan kekacauan penataan otoritas kelembagaan negara di era Pemerintahan Soeharto dahulu.

Jika era Soeharto kekacauan terdapat dalam aturan-aturan yang puncaknya terdapat pada Lima Paket Undang-Undang Politik 1985, maka kini kekacauan terjadi pada praktik lembaga negara.

Seenaknya saja, asal-asalan, dan memperlihatkan sistem hubungan antarlembaga yang compang-camping. Ketika MK menambah syarat cawapres secara sepihak, tanpa proses legislasi di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) maka praktik yang merusak otoritas sistem trias politika pada demokrasi sudah sangat jelas.

Dalam fakta ini saja dapat dikatakan bahwa ada ambivalensi dalam pemerintahan saat ini jelang pergantian kekuasaan 2024 mendatang.

Artinya pula, ukuran-ukuran ekonomi belaka yang membuat LSI menyatakan tingkat kepuasan rakyat mencapai 76 persen terhadap kinerja Presiden Jokowi, perlu dilihat ulang secara lebih kritis. [rif]