BANJIR Jakarta tidak sekadar bencana alam tetapi juga sudah sangat politis. Banjir dan cara penanganannya menjadi alat kampanye, glorifikasi atau justru menjadi peluru menjatuhkan seseorang. Berikut ini serial ketiga tulisan tentang banjir di Ibu Kota dan kontroversinya.
Saat membaca Los Angeles Times edisi daring saya sempat tertegun sejenak membaca judulnya kalau diterjemahkan kira-kira “California terisolasi dan sendirian dalam pertempuran memperebutkan jatah pemotongan air Sungai Colorado”.
Ternyata begitu rumitnya pembagian jatah air sungai yang diperebutkan tujuh negara bagian yaitu California, Arizona, Colorado, Nevada, New Mexico, Utah, dan Wyoming.
Mereka mulai menggugat dominasi penguasaan air oleh California yang memiliki hak khusus yang diatur dalam “Hukum Sungai” didasarkan pada Colorado River Compact tahun 1922.
Aturan ini memberikan keistimewaan kepada Badan Air Pertanian California, khususnya Distrik Irigasi Imperial dan Distrik Irigasi Palo Verde, memegang hak air sejak lebih dari seabad lalu. Aturan ini memberi California posisi istimewa di bawah sistem hak air dengan prinsip “pertama kali, pertama di kanan.”
Sungai yang mengalir sepanjang Pegunungan Rocky ke perbatasan AS-Meksiko, dalam kondisi kritis karena penggunaan yang berlebihan, kekeringan dan efek pemanasan global.
Dua reservoir terbesar sungai yaitu Danau Mead dan Danau Powell, debit airnya terus menurun pada level kritis.
Setelah membaca tulisan itu saya jadi membayangkan bagaimana seandainya terjadi perebutan jatah dan penguasaan air di aliran Sungai Ciliwung. Bagaimana misalnya perseteruan terjadi antara Kabupaten Bogor, Kota Bogor, Kota Depok dan Provinsi DKI Jakarta bersitegang di meja perundingan membahas alokasi pasokan air.
Tapi imajinasi saya tentang utilitas air Sungai Ciliwung yang sangat penting dan bisa memicu perang saudara itu, buru-buru saya hapus. Karena di Jakarta sana (saya tinggal Depok) lebih sibuk pejabatnya membicarakan bagaimana caranya membuang air secepatnya ke laut. Bukan menampungnya untuk digunakan suatu waktu. Atau menyerapnya di dalam tanah.
Ironisnya bagi elite di Jakarta justru dapat membuang air secepat-cepatnya ke laut adalah prestasi. Sementara bagi sekelompok orang yang berusaha membuat resapan air ke dalam tanah, penghijauan daerah aliran sungai, kampanye penanganan sampah plastik dan domestik justru disebut pencitraan. Bahkan dianggap gagal mengendalikan banjir!
Para penggila infrastuktur dan juga penganut paradigma normalisasi sungai dalam penanganan banjir di DKI Jakarta dan sekitarnya harus berkaca pada krisis air di Sungai Colorado.
Air yang melimpah dari Bogor, baik saat hujan atau dalam keadaan normal seharusnya tidak langsung dibuang ke laut. Air bisa ditampung di kantong-kantong air di sekitar DAS, seperti waduk atau danau. Dan ketika musim kering air itu dapat dimanfaatkan atau dialirkan ke sungai kembali.
Normalisasi sungai seperti betonisasi, pembuatan tanggul dan membangun sodetan sebagai pengendalian banjir seharusnya bukan yang utama. Justru yang prioritas seharusnya memanfaatkan kelimpahan air tersebut dengan cara ditampung. Minimal setiap rumah, kemudian RT, RW, Kelurahan, Kecamatan, Kota/Kabupaten, Provinsi secara berjenjang memiliki alat dan fasilitas penampungan atau penadah hujan sendiri sehingga air tidak langsung mengalir ke sungai.
Menurut pakar hidrologi Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Yanto PhD, pembangunan sodetan Ciliwung juga belum tentu efektif mengendalikan banjir.
“Sodetan Ciliwung merupakan satu paket pengendalian banjir dengan Kanal Banjir Timur. Sodetan Ciliwung lebih berfungsi mengurangi genangan banjir di hulu sodetan (sebelum air masuk ke sodetan),” katanya.