TRANSAKSI internasional Indonesia dengan pihak asing dicatat dalam Neraca Pembayaran Indonesia (NPI). Transaksi tersebut mencakup perdagangan barang, jasa, investasi, dan utang piutang. NPI selama ini cenderung surplus, yang berarti terjadi arus masuk bersih berupa devisa atau mata uang asing ke dalam perekonomian nasional.
Pada periode tahun 1981-1996 dialami surplus sebanyak 12 kali, dan defisit sebanyak 4 kali. Pada tahun 1997 dan1998 dialami defisit yang lebar. Pada periode tahun 1999-2021 dialami surplus sebanyak 16 kali, dan defisit sebanyak 7 kali. Defisitnya cukup lebar pada tahun 2013 dan 2018. Pada tahun 2019-2021 kembali mengalami surplus.
Hingga tiga triwulan tahun 2022 tercatat defisit sebesar US$732 juta. Besar kemungkinan defisitnya melebar hingga lebih dari US$1 miliar sampai dengan akhir tahun nanti.
Jika defisit berlanjut pada tahun 2023, maka akan menjadi “gangguan” bagi perekonomian nasional. Antara lain terkait dengan posisi cadangan devisa dan pelemahan kurs rupiah.
Transaksi Berjalan dan Transaksi Finansial
Komponen NPI terdiri dari neraca Transaksi Berjalan, neraca Modal dan neraca Finansial. Transaksi Berjalan merupakan neraca perdagangan barang dan jasa dalam arti luas. Cakupannya melebihi Neraca Perdagangan publikasi Badan Pusat Statistik (BPS) yang hanya mencatat perdagangan barang ditambah sebagian jasa terkait langsung dalam transaksi barang. Sebagai contoh, transaksi berjalan memasukkan arus pembayaran bunga utang dan keuntungan sebagai balas jasa atas penggunaan faktor modal.
Transaksi berjalan selama kurun tahun 1981-1997 selalu mengalami defisit, dengan nilai yang berfluktuasi. Sejak tahun 1998 sampai dengan tahun 2011 selalu mengalami surplus, dengan nilai yang berfluktuasi. Sejak tahun 2012 hingga 2020, Transaksi Berjalan selalu mengalami defisit.
Kondisi Transaksi Berjalan justeru membaik pada tahun 2020, ketika dialami pandemi Covid-19. Defisit hanya sebesar US$4,43 miliar atau jauh lebih rendah dari tahun-tahun sebelumnya. Bahkan tercatat surplus sebesar US$3,46 miliar pada tahun 2021.
Kondisinya makin membaik pada tahun 2022 yang hingga tiga triwulan tercatat surplus sebesar US$8,98 miliar. Berpotensi mencatatkan rekor surplus terbesar hingga akhir tahun nanti.
Surplus Transaksi Berjalan terutama ditopang oleh neraca perdagangan barang yang terus mengalami surplus selama dua tahun terakhir. Salah satu faktor utama adalah tingginya harga komoditas yang dapat diekspor Indonesia. Antara lain berupa batubara, kokas, dan briket.
Hal yang berbeda terjadi pada kondisi transaksi modal finansial, seperti arus neto investasi dan utang piutang. Transaksi Finansial Indonesia cenderung membukukan arus masuk bersih atau surplus selama bertahun-tahun, dengan nilai berfluktuasi. Pada tahun 2020 dan 2021 ketika dialami pandemi covid-19, kecenderungan tersebut masih terjadi, namun dengan arus masuk bersih yang jauh lebih sedikit.
Perubahan arah terjadi selama tiga triwulan tahun 2022. Transaksi Finansial tercatat defisit atau arus neto keluar sebesar US$1,99 miliar pada triwulan satu, sebesar US$1,16 miliar pada triwulan dua, dan sebesar US$6,07 miliar. Dengan demikian, tercatat defisit sebesar US$9,22 miliar. Ada kemungkinan akan mencatatkan rekor defisit terlebar hingga akhir tahun nanti.
Faktor keuangan global nampaknya akan membuat kondisi Transaksi Finansial masih alami defisit pada tahun 2023. Jika terjadi defisit selama dua tahun berturut-turut dengan nilai yang besar, maka merupakan kondisi yang belum pernah dialami oleh perekonomian Indonesia.
Dari uraian di atas dapat dikatakan bahwa transaksi berjalan yang sebelumnya cenderung defisit selama bertahun-tahun berubah menjadi surplus pada tahun 2020 dan 2021. Sedangkan transaksi finansial yang sebelumnya cenderung surplus berubah menjadi defisit pada tahun 2022.