BELAKANGAN ini istilah dialektika yang dikembangkan Hegel (tesis-antitesis-sentesis) menjadi pembicaraan populer di masyarakat terutama kalangan netizen. Konsep cara berpikir kritis ini kembali ramai diperbincangkan menyusul pernyataan politikus Nasdem Zulfan Lindan yang berujung pemecatannya dari pengurus DPP Partai Nasdem.
Pernyataan Zulfan Lindan yang dalam sebuah perbincangan menyebut Anies sebagai antitesa Jokowi menjadi kontroversial setelah ditanggapi secara serius oleh Sekjen DPP PDI Perjuangan Hasto Kristianto. Hasto selama ini termasuk yang paling nyaring mempermasalahkan Nasdem karena mendeklarasikan Anies Baswedan sebagai calon presiden.
Pernyataan Zulfan Lindan tidak sepenuhnya benar begitu juga tanggapan Hasto yang reaktif juga sangat berlebihan. Karena kalau memahami makna dialektika seharusnya kontroversi itu diselesaikan dalam argumen bukan sentimen dengan tujuan menggusur Nasdem dari pemerintahan.
Dialektika adalah proses untuk menghasilkan solusi yang bermanfaat bagi publik. Bukan soal jatah kursi dalam kekuasaan. Dialektika yang dimaknai Zulfan Lindan dan Hasto adalah hitam-putih dan terlalu sederhana. Padahal Sintesa adalah bukan sebuah hasil melainkan sebuah proses ke arah yang lebih baik.
Karena itu mempertentangkan Presiden Jokowi dan Gubernur DKI Jakarta juga sungguh tidak tepat. Secara jabatan pun tidak sebanding atau selevel yang satu presiden, pihak lain adalah seorang gubernur.
Pun, Anies bukan lawan tanding Jokowi dalam Pemilu 2024. Karena Anies pun baru calon yang diusung Nasdem belum koalisi dan juga belum disahkan KPU. Begitu juga Jokowi tidak akan lagi bertarung di Pilpres 2024 karena alasan konstitusi sudah menjabat dua periode.
Karena itu sungguh berlebihan ketika Partai Nasdem berani mendeklarasikan capresnya paling duluan dibanding partai lain, ditanggapi dengan sinis dan emosional. Kenapa mereka juga tidak menirunya malah sibuk merisak Nasdem. Contohlah Nasdem yang terus terang karena tak punya kader sendiri maka tak masalah mencalonkan sosok dari nonpartai. Kenekatan lainnya, Nasdem berani mencalonkan calon presiden yang hasil surveinya berada di bawah calon lain.
Itulah seharusnya yang menjadi bahan renungan, instrospeksi dan kajian parpol yang selama ini mengaku partai kader tetapi kadernya malah jeblok di level medioker walupun sudah digenjot dengan pencitraan dari delapan penjuru mata angin.
Benar, seperti yang selama ini diklaim PDI Perjuangan atau partai kecil di Jakarta seperti Partai Solidaritas Indonesia yang selalu menyebut bahwa Anies ini melanjutkan program Jokowi dan Ahok. Itu memang benar. Tetapi melanjutkan yang baik, rasional dan berpihak kepada rakyat. Kalau yang bertentangan dengan konstitusi pasti tidak dilanjutkan.
Bahkan Anies itu tidak hanya melanjutkan pekerjaan Jokowi dan Ahok tetapi melanjutkan gubernur sebelumnya termasuk Ali Sadikin. Malah kalau dirunut lebih jauh Anies juga sejatinya adalah melanjutkan pekerjaan gubernur jenderal zaman kolonial seperti dalam soal banjir Jakarta.
Bila pun nanti Anies ditakdirkan menjadi Presiden Indonesia 2024-2029, sudah pasti akan melanjutkan program-program baik Jokowi. Program yang belum selesai akan dituntaskan. Program yang berpihak kepada rakyat akan diutamakan.
Kepada Tempo Anies menyatakan tuduhan bahwa dirinya tidak akan melanjutkan program Jokowi sangat tidak berdasar.
“Atas dasar apa anggapan Anies tidak akan melanjutkan program Pak Jokowi? Pun kekhawatiran harus ada dasarnya dong. Apakah ada yang pernah Anies kerjakan sehingga muncul kekhawatiran itu. Kalau tidak, itu baseless assumption,” kata Anies, Selasa, 11 Oktober 2022.