Scroll untuk baca artikel
Blog

Anies, Buku dan Pidato Kebudayaan

Redaksi
×

Anies, Buku dan Pidato Kebudayaan

Sebarkan artikel ini

TEPUK tangan, applause mengiringi pidato Anies Rasyid Baswedan dalam acara “Nasdem Memanggil” di Nasdem Tower, Menteng, Jakarta Pusat, Senin (17/10/2022). Itu adalah pidato kedua Anies di hadapan kader Nasdem setelah resmi ditetapkan sebagai calon presiden.

Pidato kedua Anies lebih tepat disebut sebagai Pidato Kebudayaan. Pidato seperti ini sangat layak sebenarnya disampaikan di Taman Ismail Marzuki (TIM). Pidato Anies setara dengan Pidato Kebudayaan “Manusia Indonesia” yang disampaikan jurnalis Mochtar Lubis di TIM pada 1977.

Kendati di hadapan kader Nasdem, pidato Anies ini sebenarnya mengajak kepada masyarakat Indonesia di mana saja, apa saja profesinya, apapun agama dan rasnya, tetapi orang baik untuk masuk ke dunia politik dan partai politik untuk membuat kebijakan terbaik bagi masyarakat Indonesia.

Anies menyatakan jangan ada anggapan politik jahat karena orang jahat tidak hanya ada di dunia politik dalam profesi apapun orang jahat itu ada. Karena itu orang baik harus masuk politik.

Menurut Anies para pendiri bangsa dari mulai Sukarno, Sjahrir, Hatta, Haji Agus Salim, M Natsir dan yang lainnya adalah orang baik dan juga politikus. Karena itu sangat aneh bila orang baik masuk politik dipermasalahkan sementara orang bermasalah masuk politik justru tidak dipermasalahkan.

Anies selama ini memang konsisten dengan konsep gagasan, narasi dan aksi. Konsep ini berhasil diterapkan saat Anies menjadi gubernur DKI Jakarta yang mulus dan paripurna selama lima tahun 16 Oktober 2017 – 16 Oktober 2022.

Pembangunan fisik dan nonfisik dalam janji kampanye telah ditunaikan Anies. Pembangunan fisik bisa dilihat, pembangunan nonfisik bisa dirasakan. Penghargaan lokal dan dunia sebagai pengakuan dan prestasi bersanding rapi dalam ingatan warga Jakarta, kecuali bagi oposisi.

Anies telah meninggalkan beragam legacy seperti pengendalian banjir di Jakarta. Pekerjaan sepele. Namun penting dan bermanfaat. Sumur resapan yang awalnya diejek sebagai lubang ikan lele, belakangan diakui sangat bermanfaat dan akan diteruskan oleh pejabat gubernur.

Belum lagi proyek monumental lainnya yang tidak hanya berdampak pada pertumbuhan ekonomi tetapi juga pembangunan intelektual. Anies berhasil mengombinasikan pembangunan infrastruktur dan kebudayaan di TIM dan Jakarta International Stadium (JIS).

JIS tidak sekadar lapangan sepak bola tetapi di sana juga bisa digunakan untuk kegiatan lainnya seperti pameran, kegiatan keagamaan dan konser musik. Begitu juga TIM tidak sekadar sebagai ajang tempat pentas teater dan seni tetapi juga pusat perpustakaan dan harta karun sastra peninggalan HB Jassin. Bila dirangkum: Itulah revolusi mental sebenarnya.

Sebagai kota metropolitan dan global, Anies tidak hanya fokus pada pembangunan fisik utilitas tetapi juga membangun taman dan pusat kebudayaan. Menyeimbangkan antara kesibukan keseharian dengan pemenuhan hiburan batin. Ini sejalan dengan tagline yang diusung Anies: maju kotanya, bahagia warganya.

Revolusi mental yang diusung Presiden Jokowi sejatinya dipraksiskan oleh Anies dengan sempurna. Dan, revolusi mental juga dipraktikan Anies sejak dalam ruang kantornya.

Siapapun yang menghadap Anies mau masyarakat atau kepala dinas, dia terima tidak di meja kerjanya. Meja kerja, kata Anies hanya tempat untuk tanda tangan dokumen atau kebijakan. Sementara ketika menerima tamu atau pejabat di lingkungan DKI dipersilakan di meja rapat. Di sanalah semuanya serba egaliter dan setara. Tidak ada yang rendah dan tidak ada yang tinggi, tidak ada inferior dan tidak ada superior. Tidak ada yang menghadap dan diperhadapkan. Kesimpulannya: Jakarta dibangun bukan oleh Superman tetapi oleh Super Team.