Narasi pun berkembang seolah Pemkot Depok lebih mementingkan masjid daripada mengurus pendidikan. Depok pun dianggap tidak ramah anak.
Padahal, Pemkot Depok sudah berpengalaman dalam memerger sekolah dasar. Misalnya dua sekolah di Jalan Pemuda yang menjadi episentrum ‘Belanda Depok’ sukses digabung dan tidak ada gejolak. Malah kini bangunannya sangat representatif dan bertingkat.
Dugaan adanya politisasi sangat masuk akal. Apalagi Ketum PSI Haji Giring sampai datang ke SDN Pondok Pondok Cina 1. Dengan segala macam komentarnya. Namun, justru netizen malah membuli Giring daripada memujinya.
Kecuali koleganya sesama kader PSI seperti Guntur Romli yang terus berkomentar lewat cuitan di Twitter-nya. Guntur menarasikan Depok sebagai wilayah yang dikuasai salah satu partai sangat anti dengan keragaman.
Para pengkritik di Depok ini memang kebanyakan malas saat Pilkada untuk datang ke TPS. Akibatnya yang menang selalu kader Partai Keadilan Sejahtera karena kader dan simpatisannya solid dan rajin datang mencoblos. Sementara mereka yang selama ini lantang berteriak sangat malas ketika ada perhelatan Pilkada.
Pemkot Depok, justru memindahkan para guru dan murid ke sekolah terdekat untuk mendapatkan pengajaran dan pembelajaran yang lebih baik. Seperti halnya teman-teman lainnya yang sudah pindah.
Niat baik tidak selamanya berjalan mulus apalagi kalau sudah ditunggangi isu politik. Apalagi tujuannya sangat banal hanya untuk membuat partai tetap dikenang.
Bila PSI tidak mengubah paradigma dan juga miskin gagasan, narasi dan juga aksi maka siap-siap saja terus ditinggalin para pentolannya dan juga para pemilihnya.
Bagaimana menurut Haji Giring? Berpolitik itu tak cukup hanya nyanyi “Laskar Pelangi” dan “Hapus Aku”. [rif]