Opini

Anies Menolak Cawe-cawe: Istilah Positif Jadi Rusak

Yayat R Cipasang
×

Anies Menolak Cawe-cawe: Istilah Positif Jadi Rusak

Sebarkan artikel ini
Anies Baswedan (Foto: facebook @Anies Baswesan)

DALAM Kamus Besar Bahasa Indonesia daring lema “cawe-cawe” sebagai kata kerja yang maknanya sangat positif. Sangat netral. Untuk kebaikan.

Cawe-cawe yang berasal dari bahasa Jawa bermakna, “Membantu mengerjakan (membereskan, merampungkan); ikut menangani: untuk mengatasi kepincangan generasi muda, kita yang tua-tua hendaknya turut (cawe-cawe) mengatasinya.

Namun ketika istilah tersebut diviralkan Presiden Jokowi di hadapan para pemimpin redaksi dan penggiat media sosial, seketika maknanya jadi negatif, buruk dan banyak orang menghindarinya. Termasuk bakal calon presiden dari Koalisi Persatuan untuk Perubahan, Anies Rasyid Baswedan.

Walaupun Presiden Jokowi saat itu juga memberikan desklimer bahwa cawe-cawe yang dimaksud tidak melanggar undang-undang, tidak mengotori demokrasi dan tentu saja demi kemaslahatan bangsa dan negara. Intinya Jokowi ingin menyebut cawe-cawenya nasionalisme seratus persen dan 24 karat.

Jokowi mengakui cawe-cawe menjelang Pemilu 2024 juga sebagai panggilan hati untuk menyiapkan penerusnya atau tongkat estafetnya kepada orang yang tepat. Jokowi gusar Indonesia hanya tinggal 13 tahun memiliki kesempatan untuk menjadi negara maju. Masa begini-begini aja, demikian Jokowi gusar

Entah seperti apa respons Presiden ke-6 RI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) merespons ucapan Jokowi yang sangat heroik tersebut. Apakah mengacungkan jempol atau cuma tersenyum pahit.

Yang saya tahu saat itu, SBY tidak cawe-cawe sampai harus ngurusin koalisi di akhir periode kedua masa jabatannya. Justru menjelang pensiun, SBY malah banyak menciptakan lagu dan banyak berlatih melukis.

SBY saat itu sudah yakin demokrasi yang dihasilkan reformasi sudah berjalan dalam relnya. Justru kalau presiden yang akan mengakhiri masa jabatannya masih cawe-cawe berarti tidak percaya dengan sistem yang sudah dihasilkan reformasi dan sudah ditabalkan dalam konstitusi sampai amandemen keempat. Cukup dua periode. Artinya kasih kesempatan ke partai politik untuk menghasilkan sosok di luar partai atau kader terbaiknya untuk jadi presiden. Presiden yang akan lengser tidak harus ikut campur dan harus taat pada konstitusi. Clear.

Tapi rupanya Jokowi sangat gelisah dan seperti tidak percaya dengan penerusnya bakal menjadikan Indonesia menjadi negara maju pada 2045 ketika usia negeri ini satu abad. Mungkin Jokowi khawatir Indonesia di 2045 masih seperti masa jabatan dua periodenya.

Arkian, sejumlah analis justru memandang negatif, cawe-cawe yang dilakukan Jokowi. Disebut sebagai ambisius dan post power syndrome. Cawe-cawe malah memperburuk demokrasi. Ini dibuktikan dengan indeks demokrasi Indonesia yang terus menurun.

Sejumlah pengamat menilai, cawe-cawe Jokowi hanya bentuk dari ketakutan sejumlah rencana dan programnya tidak dilanjutkan oleh penerusnya seperti soal hilirisasi mineral, kereta cepat dan juga ibu kota negara (IKN). Padahal itu hal biasa dalam kehidupan bernegara. Suatu program bila tidak realistis dan merugikan negara kenapa tidak dianulir atau dibatalkan.

Contohlah Anies

Contohlah mantan gubernur DKI Jakarta Anies Rasyid Baswedan ketika sejumlah rencana, program bahkan legasinya dianulir oleh Penjabat Gubernur Heru Budi Hartono. Anies tidak cawe-cawe. Justru yang berteriak adalah para penerima manfaat. Anies tidak marah dan justru yang protes adalah publik. Seperti jalur sepeda yang anggarannya dikorting dan trotoar yang dibongkar. Justru sekarang malah publik teriak sangat kencang soal Jakarta yang semakin macet.