Dalam buku Ramadhan KH “Ali Sadikin: Membenahi Jakarta Menjadi Kota yang Manusiawi” dan buku Ajip Rosidi “Hidup Tanpa Ijazah” diceritakan ketika sang gubernur tengah mengajak mereka keliling Jakarta dan sampai di Pasar Senen disampaikanlah bahwa para seniman berceceran dan luntang-lantung karena tempat mereka tergusur Proyek Senen.
Ali Sadikin kaget mendengar celutukan Ajip Rosidi tersebut. Setelah meminta saran kepada mereka maka disepakatilah membangun TIM di bekas Kebun Binatang Cikini yang telah dipindahkan ke Taman Margasatwa Ragunan. TIM berdiri ditandai dengan pelantikan Dewan Kesenian Jakarta pada 7 Juni 1968.
“… bahwa kesenian memang mesti diberi kesempatan untuk hidup, untuk berkembang. Tak baik sebuah kota jika hanya diliputi oleh kesibukan kehidupan induatri, perdagangan, dan jasa. Akan gersang jadinya kehidupan kota itu jika rohani tidak dikembangkan. Kesenian mesti hidup, tumbuh, dan berkembang di tengah-tengah kegiatan seperti apa yang diinginkan oleh Jakarta,” kata Ali Sadikin.
Ya, kota-kota besar seperti Praha, Edinburg London, Sydney, Paris, Milan dan New York dikenal tidak hanya sebuah kota semata. Di sana berdiri pusat kebudayaan, galeri dan berbagai pertunjukan kreatif kelas dunia. Jakarta sebagai kota metropolis sudah selayaknya memiliki pusat kebudayaan yang tidak hanya representatif dan fantastis tapi juga prestisius.
Anies mewarisi amanat Gubernur Ali Sadikin untuk terus menghidupkan kembali TIM sekaligus menerjemahkan jargonnya “Maju kotanya, bahagia warganya”. Dalam waktu dekat pembangunan mendekati paripurna para seniman akan kembali beraktivitas dan para penikmat seni akan berbondong-bondong ke TIM.
Kita tunggu dari TIM apakah akan ada lagi pidato kebudayaan sekelas jurnalis cum budayawan Mochtar Lubis yang sempat mengguncang Indonesia dengan tajuk “Manusia Indonesia” pada tahun 1977. Rakyat sangat rindu itu karena sudah muak dengan pidato elite negeri ini yang isi pidatonya cuma janji dan puja puji, minim substansi dan cuma modal teriak kencang: merdeka… merdeka….!