Scroll untuk baca artikel
Edukasi

Apa Jadinya Jika Orang Tua Berbohong Kepada Anak?

Redaksi
×

Apa Jadinya Jika Orang Tua Berbohong Kepada Anak?

Sebarkan artikel ini

Berbohong muncul sebagai ekspresi ketakutan; takut dengan apa yang dipikirkan orang lain, takut apa yang yang akan diketahui tentang diri kita, dan takut menghadapi kenyataan. Setiap kali itu terjadi, hal yang kita takuti justru lebih menguasai diri kita.

BARISAN.CO – Begitu banyak alasan membuat banyak orang memilih berbohong. Motif utamanya biasanya adalah untuk menghindari hukuman. Sedangkan, alasan lain termasuk melindungi diri sendiri atau orang lain dari bahaya, menjaga privasi, dan menghindari rasa malu.

Mengutip dari Goal Cast, penelitian menunjukkan, semakin banyak orang tua yang menghukum, semakin besar kemungkinan anak akan mengembangkan kebiasaan berbohong untuk menghindarinya. Psikoterapis berlisensi, Eliza Kingsford menyebut, orang tua sebaiknya lebih berfokus pada manfaat kejujuran dan bagaimana kejujuran memainkan peran penting dalam hubungan dengan orang lain.

“Anak-anak yang dibesarkan di lingkungan aman dan didorong untuk memiliki berbagai emosi akan cenderung tidak berbohong untuk melindungi diri dari rasa malu atau hukuman,” kata Eliza.

Menurutnya, ketika merasa aman untuk berekspresi, tahu telah melakukan kesalahan, dan tidak muncul ancaman hukuman, maka anak akan lebih cenderung jujur.

Di sisi lain, pola asuh orang tua juga berpengaruh. Studi dari Nanyang Technological University mengungkapkan, kebohongan orang tua agar anak patuh membawa efek kerugian ketika mereka dewasa.

Penulis utama, Asisten Profesor Setoh Peipei dari NTU Singapore’s School of Social Sciences mengatakan, mengasuh anak dengan berbohong tampaknya dapat menghemat waktu terutama ketika alasan sebenarnya bahwa sulit bagi orang tua memberikan penjelasan kepada anak.

“Kala orang tua memberi tahu anak-anak kejujuran adalah kebijakan terbaik, tetapi menunjukkan ketidakjujuran dengan berbohong, perilaku itu mengirim pesan bertentangan kepada anak-anaknya. Ketidakjujuran orang tua pada akhirnya dapat mengikis kepercayaan dan mendong ketidakjujuran pada anak,” ungkap Setoh.

Studi ini kolaborasi antara NTU, Canada’s University of Toronto, United States University of California, Sab Diego, dan China’s Zhejiang Normal University.

“Penelitian kami menunjukkan, mengasuh anak dengan berbohong adalah praktik yang memiliki konsekuensi negatif bagi anak-anak ketika tumbuh dewasa. Orang tua harus menyadari implikasi hiir ini dan mempertimbangkan alternatif untuk berbohong,” lanjutnya.

Setoh melanjutkan, ada kemungkinan kebohongan yang menegaskan kekuasaan orang tua. Misalnya, dengan berkata, “Jika tidak menurut, kamu tidak akan makan malam ini”.

Dia menjelaskan, penegasan otoritas ini membentuk gangguan psikologis yang dapat merusak otonomi anak-anak dan menyampaikan penolakan. Akhirnya, ini akan merusak kesejahteraan emosional mereka.

Berbohong muncul sebagai ekspresi ketakutan; takut dengan apa yang dipikirkan orang lain, takut apa yang yang akan diketahui tentang diri kita, dan takut menghadapi kenyataan. Setiap kali itu terjadi, hal yang kita takuti justru lebih menguasai diri kita.

Berbohong juga mempresentasikan kelemahan karakter seseorang. Pembohong mengarang cerita demi menutupi kesalahannya. Atau membuat alasan atas hal yang tidak sanggup dipenuhi. Saat kebenaran disembunyikan, mereka menjadi pengecut karena tidak mau bertanggung jawab dan disalahkan atas tindakannya tersebut. Tentu saja, di saat dewasa, anak-anak tidak bisa melarikan diri dari tanggung jawab dan menggunakan tameng agar selamat.

Agar anak-anak bersikap jujur, orang tua perlu memulainya dengan tidak menakutinya dengan hukuman atau menggunakan pola asuh berbohong. [rif]