BAGAL segera terbangun ketika hidungnya mencium bau wewangian yang sedemikian tajamnya. Beberapa kali punggung tangannya tampak menggosok-gosok matanya. Lelaki berkulit legam dari pedalaman Najasyi itu seperti tak percaya dengan seluruh penglihatannya.
Tatapannya yang tajam menyapu setiap jengkal ruangan yang mirip dengan kamar tidur seorang Sultan tersebut. Dindingnya yang putih bersih terbuat dari batu marmer. Sementara itu lampu-lampu kristal tergantung dengan aneka warna menerangi ruangan tersebut.
“Tuanku tidak sedang bermimpi!” ucap seorang perempuan sambil melangkahkan kakinya mendekati tubuh Bagal.
Setiap kali perempuan itu melangkahkan kakinya, gemerincing bunyi gelang kakinya terdengar nyaring memenuhi ruangan.
Sementara itu baju suteranya sedemikian jelas memperlihatkan apa saja yang ada di balik baju yang dikenakannya tersebut. Rupanya perempuan itu tahu persis apa yang tengah dipikirkan oleh Bagal. Bagal beringsut seperti hendak menjauh dari jangkauan perempuan tersebut.
Ada sebersit rasa takut menggelayuti benaknya. Tetapi seorang perempuan lain yang berdiri tak jauh dari tubuhnya justru ikut pula berjalan mendekatinya. Bola matanya yang kebiruan sungguh sangat menawan hati siapapun lelaki yang memandangnya.
Lamat-lamat terdengar desau angin yang mempermainkan dedaunan. Suaranya timbul tenggelam ditimpali oleh gemericik air dan kicau burung. Sepertinya suara itu berada di balik tembok kamar. Suasananya sedemikian lengang, sejuk dan menenteramkan.
Beberapa kali Bagal mencubit tangannya sendiri untuk memastikan bahwa ia memang sedang tidak bermimpi. Dan ketika cubitan itu sedemikian terasa sakitnya, barulah Bagal yakin bahwa ia memang sedang tidak bermimpi.
Melihat tingkah laku Bagal tersebut perempuan-perempuan itu hanya tersenyum tipis. Dan justru itulah yang membuat nalar Bagal seperti buntu dibuatnya.
Kekagetan Bagal semakin menjadi-jadi ketika ia melihat pakaian yang dikenakannya. Kini tubuhnya telah terbalut pakaian myang terbuat dari sutera.
Seingatnya pakaian-pakaian seperti itu biasanya hanya dikenakan oleh seorang Sultan atau setidaknya seorang putra mahkota kerajaan. Begitulah gumam Bagal dalam hati bagai tak percaya dengan apa yang tengah dialaminya.
Tidak hanya sampai di situ saja keterkejutan Bagal. Lelaki yang tak memiliki keluarga itu . terheran-heran Tatkala dilihatnya 2 buah sepatu bertahtakan berlian kini telah membungkus kedua telapak kakinya. Sepatu yang jauh lebih indah dibandingkan sepatu milik Baginda Sultan.
“Tuanku tentulah sangat lapar.” Hamba akan segera sajikan. Namun sebelumnya, hisaplah pipaku ini barang dua hisapan saja!” pinta perempuan yang lain sembari menyodorkan sebentuk pipa canglong berukir ke depan mulut Bagal.
Dan entah bagaimana kejadiannya, ketika Bagal mulai menghisap pipa tersebut tiba-tiba saja kegembiraan demi kegembiraan mulai menyerbu hatinya. Kewarasannya seperti menguap begitu saja. Dan sedetik kemudian Bagal bagai kerbau yang dicocok hidungnya. Iapun berjalan mengikuti saja ajakan perempuan tersebut. Apalagi perutnya memang sudah sedemikian kosongnya. Wangi tubuh perempuan itu sedemikian jelas tercium oleh hidung Bagal.
Sepanjang langkahnya mata lelaki bertubuh gempal itu tak henti-hentinya memelototi bagian per bagian lorong demi lorong yang ia lewati. Semua pintu-pintunya terbuat dari emas dan perak. Jauh lebih indah ketimbang yang ada di dalam istana Sultan.