APBN 2025 memasuki triwulan pertama dengan performa yang mengecewakan. Bukan hanya pendapatan yang tertinggal dari target, serapan belanja negara pun menunjukkan tren lamban yang membahayakan momentum pemulihan ekonomi nasional.
BARISAN.CO — Kinerja Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2025 pada triwulan pertama dinilai memprihatinkan oleh Ekonom Bright Institute, Awalil Rizky. Ia menyoroti lemahnya realisasi pendapatan negara dan lambatnya serapan belanja, yang menurutnya mengindikasikan pengelolaan fiskal yang tidak optimal pada awal tahun anggaran.
Menurut Awalil, pendapatan negara masih tertinggal jauh dari target triwulanan yang telah ditetapkan, khususnya dari sisi penerimaan perpajakan. Hal ini menunjukkan bahwa target pendapatan yang ditetapkan pemerintah cenderung terlalu optimistis, sementara strategi pencapaiannya belum memadai.
“Pendapatan negara kita pada triwulan pertama ini mengalami tekanan cukup berat. Ini mencerminkan bahwa asumsi fiskal di dalam APBN, terutama dari sisi penerimaan, tidak realistis dan kurang adaptif terhadap kondisi ekonomi aktual,” kata Awalil dalam keterangannya, Sabtu (12/04/2025).
Ia juga mengkritisi lambannya penyerapan belanja negara, khususnya pada belanja modal dan belanja kementerian/lembaga.
Menurutnya, belanja negara seharusnya menjadi instrumen utama untuk menggerakkan ekonomi di awal tahun, bukan malah tertahan di meja birokrasi.
“Seharusnya, di awal tahun, belanja negara mulai bergerak cepat untuk mendongkrak pertumbuhan ekonomi. Namun kenyataannya, serapan belanja sangat rendah, padahal waktu terus berjalan dan banyak program prioritas yang menunggu pelaksanaan,” jelasnya.
Dalam laporan realisasi APBN yang diterbitkan Kementerian Keuangan, tercatat bahwa realisasi pendapatan negara hingga akhir Maret 2025 baru mencapai 19,2 persen dari target tahunan. Angka ini lebih rendah dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya.
Sementara itu, realisasi belanja negara tercatat baru menyentuh angka 17,8 persen. Angka ini pun dinilai tidak memadai untuk memberikan dorongan ekonomi, terlebih dalam situasi ketidakpastian global dan penurunan aktivitas industri domestik.
Awalil juga menyoroti bahwa pelemahan di sektor industri masih menjadi faktor dominan yang menekan penerimaan pajak. Ia mencatat bahwa sektor manufaktur, yang selama ini menjadi penyumbang utama penerimaan negara, belum menunjukkan tanda-tanda pemulihan berarti.
“Kalau sektor industri belum pulih, jangan harap penerimaan pajak bisa meningkat signifikan. Di sisi lain, beban subsidi dan kewajiban fiskal lainnya terus meningkat, ini tentu berbahaya,” ujarnya.
Lebih lanjut, Awalil menekankan pentingnya pemerintah untuk segera melakukan evaluasi menyeluruh terhadap postur APBN 2025.