Barisan.co – Ketahanan pangan di era pandemi Covid-19 semakin dibicarakan. Sementara beberapa waktu lalu, banyak komoditas yang jatuh harga seperti tomat di Pagar Alam Sumatera Selatan Rp300/kg. Harga normalnya di atas Rp10.000 – Rp11.000 per kg.
Banyak petani kemudian was-was hasil panennya tidak laku di pasar. Lantas, bagaimana mengembalikan kepercayaan petani agar mau tetap menanam?
Akademisi Universitas Sebelas Maret, Rofandi Hartanto menyebutkan, mencegah penurunan harga dengan menampung hasil atau produksi petani sangat diperlukan. Mengembangkan usaha pengolaan, pengawetan, penyimpanan untuk berbagai komoditas penting juga dapat mengatasi penurunan harga pangan.
“Trik ketahanan pangan dari saya, tetap dihidupkan yang namanya UMKM, dan juga perlu diperhatikan untuk kegiatan impornya. Di kota, sebaiknya adakan pemberdayaan atau kegiatan semacam budidaya,” ujar Rofandi Hartanto dalam acara Mimbar Virtual barisan.co bertema ketahanan pangan, Selasa (25/08/2020).
Harga Ketahanan Pangan
Tujuan pemerintah memperkuat ketahanan pangan akan sulit terwujud, bila petani tidak mendapat jaminan atas apa yang mereka tanam.
Ketahanan pangan, intinya adalah bagaimana negara secara mandiri menyiapkan pangannya, ketahanan pangan yang kuat itu contohnya seperti Singapura dan Jepang. Padahal tidak ada sawah di situ, tidak ada lahan. Tapi dia punya ketahanan pangan yang kuat, kenapa? Karena dia memiliki kontrak pangan jangka panjang dengan negara lain, dan dia memiliki efisiensi pangan yang tinggi.
Ketahanan pangan memang tidak selalu berkaitan dengan produksi, namun hal sebaliknya bagi Indonesia, yang uangnya kurang, utangnya banyak, maka itu sangat terkait dengan produksi.
Maka, menjadi tantangan bagi pemerintah untuk mencukupi pasokan pangan dengan harga terjangkau pada satu sisi, tetapi menjaga kesejahteraan petani di sisi lainnya. Keduanya penting dilakukan beriringan. Sayang, poin kedua masih kurang diperhatikan.
Kebijakan pemerintah Indonesia sangat melindungi konsumen. Tapi kurang melindungi produsen.
Di soal pertanian, kecenderungan saat ini adalah petani kurang dilindungi. Ditambah mereka selalu kesulitan menyesuaikan hasil produksinya dengan Harga Eceran Tertinggi (HET). Kalau misalnya petani tidak menjual hasil produksinya sesuai HET, maka kebijakan akan lebih berpihak pada konsumen.
Seturut dengan itu, beberapa kalangan bahkan menyebut pertanian kita memang cenderung dijadikan bumper untuk menahan inflasi. Jadi ketika misalnya harga tomat Pagar Alam turun, perancang kebijakan ekonomi kita seperti bisa ‘bernafas’ karena dengan begitu inflasi juga akan ikut turun.
Sehingga, bagi para konsumen, turunnya harga tomat berarti mereka terhindar dari dampak inflasi. Konsumsi mereka tidak berkurang, cicilan-cicilan tidak tersendat, dan gaya hidup tetap tersokong dengan baik.
Sementara bagi petani, turunnya harga tomat berarti jerih payah mereka berbulan-bulan tergadai dan menguap begitu saja.
Menurut Rofandi Hartanto, pemerintah perlu menciptakan aturan main yang melindungi petani. Minimal, program-program pemulihan ekonomi pandemi sekarang, harus diikuti dengan distribusi adil atas anggaran yang disediakan bagi petani. Terutama untuk menyelamatkan sektor pertanian yang tergabung dalam usaha mikro dan kecil.
“Selain itu, impor yang dilakukan pemerintah atas beberapa komoditas harus rasional. Jangan sampai ukuran-ukurannya hanya kebutuhan pasar saja, yang menyebabkan petani tidak terselamatkan. Kasihan sekali kalau risiko harus ditanggung petani sendiri,” ujar Rofandi.
Penulis: Putri Nur Wijayanti