Scroll untuk baca artikel
Kolom

Bagaimana Sikapi Kritik AS soal QRIS: Menyerah Atau Bertahan?

Redaksi
×

Bagaimana Sikapi Kritik AS soal QRIS: Menyerah Atau Bertahan?

Sebarkan artikel ini
Sikapi Kritik AS soal QRIS
Ilustrasi/Barisan.co

Sebelum GPN, sekitar 90% transaksi kartu di Indonesia dikuasai jaringan internasional seperti Visa dan Mastercard, dengan biaya switching yang tinggi.

GPN hadir untuk menekan biaya tersebut sekaligus mengurangi ketergantungan pada sistem luar.

Langkah ini sejalan dengan tren global. Rusia, misalnya, mengembangkan sistem Mir Card setelah sanksi Barat memutus aksesnya ke SWIFT.

Namun, AS menganggap GPN dan QRIS “tidak kompatibel” dengan sistem global.

Di sini terjadi paradoks: di satu sisi, perusahaan AS ingin integrasi, tetapi di sisi lain, mereka enggan menyesuaikan diri dengan standar lokal.

Padahal, kompatibilitas seharusnya bersifat dua arah. Alih-alih memaksa Indonesia mengadopsi standar global, perusahaan asing bisa berinovasi agar layanannya selaras dengan QRIS.

Justru ketidakmampuan beradaptasi dengan kebijakan lokal yang menjadi akar masalah.

Ketegangan Globalisasi vs. Nasionalisme Ekonomi

Kritik AS terhadap QRIS dan GPN mencerminkan ketegangan abadi antara globalisasi dan nasionalisme ekonomi.

Bagi AS—yang rumah bagi raksasa fintech seperti PayPal, Stripe, dan Visa—kebijakan Indonesia dianggap menghambat ekspansi bisnis mereka.

Namun, Indonesia harus memprioritaskan kepentingan 277 juta warganya.

Liberalisasi sektor pembayaran tanpa filter bisa mematikan startup fintech lokal yang belum siap bersaing dengan perusahaan multinasional.

Contohnya, di Afrika, dominasi M-Pesa (meski sukses meningkatkan inklusi keuangan) justru mempersempit ruang bagi pengembang lokal untuk menciptakan solusi yang lebih kontekstual.

Selain itu, tuntutan AS agar BI “lebih transparan” dalam penyusunan kebijakan perlu dikritisi.

Setiap negara berdaulat berhak merumuskan regulasi sesuai kebutuhan nasionalnya tanpa intervensi asing.

Protes AS mirip dengan reaksi mereka terhadap kebijakan data lokal (data localization) di Uni Eropa melalui GDPR.

Jika Indonesia menyerah pada tekanan ini, bisa jadi ini menjadi preseden buruk di mana kebijakan publik ditentukan oleh lobi korporasi, bukan kepentingan rakyat.

Menuju Solusi Simbiosis: Bagaimana Strategi Negosiasi Seharusnya?

Meski kedaulatan ekonomi adalah hak mutlak Indonesia, dialog konstruktif dengan pemain global tetap diperlukan.

Tudingan bahwa kebijakan Indonesia bersifat protektif sebetulnya merupakan bentuk proyeksi dari kekhawatiran korporasi global terhadap potensi kehilangan pangsa pasar.

Tapi proteksi dalam arti melindungi kedaulatan sistem keuangan nasional adalah hal yang wajar, dan bahkan wajib dilakukan oleh negara manapun yang serius membangun kemandirian ekonominya.