Scroll untuk baca artikel
Kolom

Bagaimana Sikapi Kritik AS soal QRIS: Menyerah Atau Bertahan?

Redaksi
×

Bagaimana Sikapi Kritik AS soal QRIS: Menyerah Atau Bertahan?

Sebarkan artikel ini
Sikapi Kritik AS soal QRIS
Ilustrasi/Barisan.co

Di balik protes Amerika Serikat terhadap QRIS, ada pertarungan diam-diam soal siapa yang berhak mengendalikan data dan sistem pembayaran digital dunia.

Oleh: Achmad Nur Hidayat
(Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik UPN Veteran Jakarta)

AMERIKA Serikat (AS) kembali menyoroti kebijakan sistem pembayaran digital Indonesia, khususnya QRIS (Quick Response Code Indonesian Standard) dan GPN (National Payment Gateway), melalui laporan National Trade Estimate (NTE) 2025.

Kritik utama AS berkisar pada ketidakikutsertaan perusahaan asing, terutama dari Negeri Paman Sam, dalam proses pengembangan kebijakan tersebut.

Namun, di balik protes AS, Indonesia memiliki alasan kuat untuk mempertahankan QRIS sebagai bagian dari strategi kedaulatan ekonomi, keamanan data, dan inklusi keuangan.

Kantor Perwakilan Dagang AS (USTR) menilai bahwa Indonesia cenderung menyusun kebijakan tanpa melibatkan pelaku industri internasional, terutama dari Negeri Paman Sam.

Isu ini bukan hanya soal tata kelola regulasi, tapi menyentuh isu strategis yang lebih dalam: kedaulatan ekonomi, keamanan data, efisiensi biaya, dan inklusi keuangan sebagai fondasi pertumbuhan ekonomi berkelanjutan.

Pertanyaan besarnya: bagaimana negara berkembang seperti Indonesia bisa menjaga kepentingan nasionalnya di tengah tekanan globalisasi yang kerap didominasi kepentingan korporasi multinasional?

QRIS: Bukan Sekadar Alat Pembayaran, Tapi Pilar Kedaulatan Digital

QRIS telah menjadi tulang punggung transaksi digital di Indonesia, dengan lebih dari jutaan merchant dan ratusan juta pengguna aktif pada 2025.

QRIS bukan sekadar teknologi pembayaran berbasis kode QR. Ia adalah infrastruktur publik digital yang menyatukan berbagai metode pembayaran elektronik agar kompatibel secara nasional.

Tujuan Bank Indonesia menerapkan standar ini adalah untuk menyederhanakan sistem pembayaran, menurunkan biaya transaksi, serta memperluas jangkauan layanan keuangan formal ke seluruh pelosok negeri.

Dalam konteks negara berkembang seperti Indonesia, di mana inklusi keuangan menjadi tantangan utama, QRIS telah menjadi salah satu katalis penting dalam mendorong ekonomi digital yang inklusif.

Keberhasilan ini tidak lepas dari kebijakan Bank Indonesia (BI) yang sejak 2019 memastikan seluruh transaksi QR code mengikuti standar nasional.

Tujuannya jelas: menyatukan fragmentasi sistem pembayaran digital, menekan biaya transaksi, dan memperluas akses keuangan bagi UMKM serta masyarakat pedesaan.

Namun, AS melihat kebijakan ini sebagai bentuk proteksionisme yang menghambat integrasi dengan sistem global.

Bagi Indonesia, QRIS bukan sekadar alat transaksi, melainkan instrumen strategis untuk melindungi data finansial warganya.