Scroll untuk baca artikel
Terkini

Bagaimana Solusi Mengurangi Dampak Jam Kerja dan Waktu Perjalanan yang Panjang?

Redaksi
×

Bagaimana Solusi Mengurangi Dampak Jam Kerja dan Waktu Perjalanan yang Panjang?

Sebarkan artikel ini

Dalam paparannya, Angga menyebut, salah satu konsultan, Jarret Walker menyebut, kota yang ideal adalah kota yang bisa dicapai dalam waktu 45 menit jalan kaki ke semua tujuan, seperti sekolah, bioskop, rumah sakit, kantor, dan lain-lain.

“Sebenarnya, konsep kota satelit di Indonesia sudah seperti itu, sayangnya kota-kota tersebut dibangun dengan jalan-jalan ke car-centric. Kalau di jalan kota, seperti Meikarta, BSD, Sentul City, itu jalannya selalu lebar bahkan lebih lebar dari jalan protokol Sudirman-Thamrin sehingga mendorong orang-orang beli mobil,” lanjutnya.

Angga menambahkan, hal ini diperparah saat negara tidak bisa menyediakan transportasi publik yang baik .

“Budaya ke car-centric ini dibangun developer sehingga kebiasaan untuk jalan kaki ga terjadi, mereka akhirnya kerja ke Jakartanya pakai mobil lagi. Dan, eksternalitas dari penggunaan kendaraan, yang nanggung itu Jakarta,” jelasnya.

Namun begitu, Angga mengungkapkan, eksternalitas dari developer itu membebani kota tujuan yang menjadi tempat kerja orang-orang yang tinggal di sana.

“Ga pernah kebayang, kota tempat kerjanya terbebani oleh budaya car-centric yang dibangun developer dan pemerintah daerah lain,” imbuhnya.

Kedua, soal perumahan dan permukiman yang layak dan terjangkau. Dalam konteks RDTR 2022 yang baru dipresentasikan, Pemprov DKI Jakarta memberikan ruang untuk warga membangun rumah 4 lantai dan multi family.

“Sebelumnya, yang bisa bangun rumah susun di RDTR 2014 itu cuma developer yang punya tanah 5.000-10.000 meter persegi, cuma developer kaya yang bisa bangun rumah susun di Jakarta. Sekarang lewat RDTR yang baru Pemprov DKI Jakarta itu ngedorong warga yang mau berdaya sama-sama, berhimpun bikin koperasi, bikin perkumpulan kita bangun hunian 4 lantai untuk kita kelola sama-sama secara kolektif,” tegasnya.

Pada 10 hingga 20 tahun mendatang, Angga memperkirakan, flat yang ada di Eropa juga ada di Jakarta.

“Berlomba-lombalah yang temannya punya tanah lebar, bikin koperasi, terus bikin hunian 4 lantai supaya kesehatan mental lebih bagus dan commuting hours-nya lebih efektif dan efisien. Selama di radius transportasi publik itu dibolehkan untuk memanfaatkan kedekatan sama transportasi, jadi semoga orang-orang yang terjebak di sub-urban karena promosi hunian murah developer itu bisa balik lagi ke Jakarta untuk tinggal di flat-flat yang dekat dengan transportasi publik,” ungkapnya.

Berdasarkan survei Kompas, 96 persen penduduknya tercover dengan transportasi publik.

“Jakarta sudah mulai. Kalau yang tinggal di kota-kota dengan masalah sama, dorong pemerintah kotanya untuk bangun transportasi publik yang baik dan benar dan yang terisolasi dari transportasi publik, dorong developernya untuk kasih ruang transportasi publik di dalam. Bukan ngebuka Transjakarta masuk sana dengan Transjabodetabek, tapi mobilitas di dalamnya juga harus terhubung sama transportasi publik,” tuturnya.