DALAM demokrasi selama ini dikenal ada empat pilar yaitu Legislatif, Eksekutif, Yudikatif dan Pers. Namun di Indonesia sepertinya perlu ditambah satu lagi yaitu Lembaga Survei.
Di Indonesia kini lembaga survei bisa menjadi kekuatan sendiri yang bisa mengarahkan nasib bangsa Indonesi apakah maju atau mundur jauh ke belakang (setback).
Bahkan, lembaga survei sudah bersalin rupa tidak lagi sebagai lembaga yang menyigi pendapat publik tetapi sudah menjadi lembaga tirani yang memaksakan kehendak. Kekuasaan yang merusak demokrasi.
Pernyataan Menko Polhukam Mahfud MD dalam Munas KAHMI di Palu, Sulawesi Tengah, baru-baru ini, menkonfirmasi bahwa lembaga survei sudah tidak murni lagi bekerja dalam tataran riset ilmiah dan patuh pada metodologi yang yang rigid. Lembaga survei kini lebih banyak mempabrikasi dan menggiring opini publik untuk kepentingan tertentu. Diringkas menjadi: lembaga survei kini tergantung kepada siapa yang bayar.
Sebenarnya tidak ada yang bilang haram bagi lembaga survei yang mematok argo untuk menggiring opini publik atau membuat agenda sesuai keinginan pemesan sebagai bagian dari persuasi. Namun bila opini tersebut hanya untuk kepentingan sekelompok orang (oligarki) dan terkait kepemimpinan nasional maka ini sangat berbahaya.
Bila lembaga survei tersebut berhasil mengegolkan seorang pemimpin dan kemudian menjabat lima tahun atau sepuluh tahun dan kebijakan yang dikeluarka tidak memihak rakyat atau hanya sebagian kelompok tertentu, dampak dan konsekuensinya sangat berbahaya.
Lembaga survei sangat jamak di negara demokrasi. Kita tidak berkaca kepada negara Eropa atau Amerika Serikat karena terlalu jauh sandingannya. Selain kecerdasan rakyatnya di atas rata-rata juga infrastruktur demokrasinya sudah mapan.
Demokrasi di Indonesia sangat rentan karena rata-rata pendidikan masyarakat Indonesia setara kelas satu SMP. Karena itu tak aneh bila demokrasi di Indonesia menghasilkan toksin berupa hoaks dan buzzer. Pun, tingkat kepercayaan masyarakat kepada infrastuktur pemilu pun sangat rendah.
Solusinya, selama ini muncul desakan agar lembaga survei terbuka soal siapa yang memesan atau yang menyewa dan mendanai surveinya. Namun, sejauh yang saya amati sampai saat ini terutama survei yang terkait kepemimpinan nasional (pilpres atau pilkada) tidak ada yang terbuka soal pendanaan.
Padahal, bila sponsor atau sumber pendanaan survei dipublikasikan masyarakat tidak merasa dibohongi atau disesatkan lembaga survei. Bila mereka transparan justru publik dapat memakluminya. Bukankah keterbukaan soal sponsor ini bagian dari profesionalisme?
Sempat ada juga lembaga survei yang mengaku melakukan jajak atau mengepul pendapat publik tentang kepemimpinan nasional didanai sendiri sebagai bagian dari tanggung jawab sosial. Tetapi publik tetap tak percaya karena biaya survei politik itu tidak murah dan tidak ada yang cuma-cuma.
Tirani lembaga survei jelas berbahaya menjelang Pemilu 2024. Fenomena tirani lembaga survei tabiatnya ada dua.
Pertama, tujuannya mengeliminasi kandidat tertentu. Indikasinya terlihat dari hasil survei yang terus memojokkan Partai Nasdem untuk membatalkan Anies Rasyid Baswedan sebagai Capres 2024. Survei menarasikan bahwa Anies tidak mendongkrak elektabilitas Partai Nasdem.
Kedua, tujuannya memaksakan kepada partai agar mencapreskan seseorang. Lembaga survei ini terus memproduksi hasil survei yang menunjukkan bahwa Ganjar Pranowo memiliki elektabilitas paling tinggi dibandingkan Puan Maharani.
Tujuan lembaga survei ini sangat vulgar agar PDI Perjuangan segera menjadikan Ganjar Pranowo sebagai Capres 2024. Apakah lembaga survei yang getol menarasikan Ganjar sangat layak dicapreskan itu gratis, cuma-cuma atawa probono? Tak mungkin!