BARISAN.CO – Banyak orang tua mengalami kesulitan mendampingi anak belajar di rumah semasa pandemi. Tidak sedikit dari mereka yang pada akhirnya mengeluh, lantaran merasa habis waktu mengurus hal-hal teknis persiapan pembelajaran daring anaknya.
Keluhan semacam itu cukup sering didengar A. Ramdani di dalam komunitas yang ia kelola, Sekolah Orangtua. Kesulitan terbesar para orang tua yang umumnya dilaporkan, kata Ramdani, adalah membagi waktu antara pekerjaan dengan pendidikan anak.
“Pendidikan selama PJJ hanya memindahkan instruksi dari tatap muka menjadi tatap maya. Tapi proses pembelajaran tidak berubah. Itulah mengapa orangtua merasa kesulitan karena dia akhirnya terpaksa menjadi ikut terlibat sebagai ‘peserta didik’ juga,” kata Ramdani dalam webinar yang diselenggarakan Forum Musyawarah Indonesia bertema Kesiapan Pembelajaran Tatap Muka, Kamis (7/10/2021).
Di komunitas Sekolah Orangtua yang ia dirikan, ada pula kesulitan yang dirasakan beberapa orang tua yang tidak pernah secara langsung mengizinkan anaknya memiliki gawai. Belajar daring, dalam hal itu, memaksa mereka bergantian memakai gawai dengan anaknya, dan hal tersebut tak jarang membuat ada lebih dari satu urusan yang saling berbenturan.
Ramdani juga sering menerima keluhan adanya perubahan kebiasaan anak semasa pembelajaran jarak jauh berlangsung dua tahun belakangan.
“Anak-anak jadi malas bangun pagi. Mereka jadi kurang bagus disiplinnya akibat belajar daring,” katanya.
Selain itu, interaksi dengan gawai yang terlalu sering juga membuat anak malas membaca buku. “Ini adalah dampak psikologis akibat masa belajar daring yang terlalu panjang,” lanjutnya.
Soal banyaknya orang tua yang tidak siap dengan sistem belajar daring, menurut Ramdani, adalah buah dari mengakarnya pemahaman masyarakat bahwa pendidikan adalah semata tugas institusi sekolah. Orang tua yang mengeluh di komunitasnya itu, menurut dia, kebanyakan memang tidak mengidentifikasi dirinya sebagai bagian dari proses pendidikan.
“Padahal menurut konsep tripusat pendidikan Ki Hadjar Dewantara, sekolah, keluarga, dan masyarakat saling terkait satu sama lain. Namun sebab bertahun-tahun pengajaran terfokus di sekolah, orang tua merasa itu [pendidikan anak] bukan urusan mereka,” kata Ramdani.
Ramdani menjelaskan, selama pandemi berlangsung sekarang, tidak sedikit orang tua yang memaknai pendidikan sebagai proses transfer pengetahuan. Menurutnya, paradigma ini akan menjadi masalah jika pada gilirannya tidak disesuaikan dengan kenyataan baru pascapandemi nanti.
Menurut Ramdani, setelah pandemi usai, harus ada upaya untuk mengubah paradigma demikian.
“Pascapandemi ada baiknya pendidikan dimaknai sebagai proses transformasi pengetahuan dalam berbagai aspek kebutuhan siswa, yang terintegrasi dengan perubahan serta perkembangan media komunikasi digital,” kata Ramdani.
Transformasi menjadi kata kunci dari paradigma yang diharapkan Ramdani. Hal itu membutuhkan dukungan banyak pihak, terutama orang tua.
Maka di sinilah menjadi penting untuk menata ulang peran orang tua yang sampai sekarang belum menganggap dirinya sebagai bagian integral dari pendidikan.
“Orang tua adalah pendidik paling utama. Keterlibatannya dalam proses pendidikan bukan hanya sebagai ‘penagih’ hasil belajar. Selain itu nantinya orang tua harus bisa mendorong literasi sosial, kesehatan, serta media digital kepada anak,” pungkas Ramdani. [dmr]