Scroll untuk baca artikel
Terkini

Belajar dari Film A Hero, Masyarakat Tak Butuh Figur atau Sikap Kepahlawanan

Redaksi
×

Belajar dari Film A Hero, Masyarakat Tak Butuh Figur atau Sikap Kepahlawanan

Sebarkan artikel ini

SABTU, 27 November, Jogja-NETPAC Asian Film Fest (JAFF) resmi dibuka. Festival film yang sudah diadakan 16 kali itu dibuka dengan film terbaru gubahan sutradara tersohor Iran, Asghar Farhadi.

Berjudul A Hero, Farhadi kembali mengangkat tema tentang orang-orang marjinal di Iran. Khususnya, orang kecil yang mesti menanggung beban berat menjadi figur, dari masyarakat dan media yang selalu gandrung akan sikap kepahlawanan.

Film itu berkisah tentang Rahim, seorang duda beranak satu yang baru keluar dari penjara. Ia masuk jeruji besi karena tak bisa membayar utang yang terus menjeratnya hingga akhir film.

Seusai keluar penjara, Rahim, sebagaimana mantan “penjahat” pada umumnya, tentu kesulitan mengakses pasar kerja. Ia pengangguran. Anaknya yang sudah beranjak puber pun masih menggantungkan hidup kepada kakak Rahim, Radmehr.

Sementara itu Rahim harus membayar utang secepatnya. Suami Radmehr, ipar dari Rahim, mencoba membantu sekadarnya. Tapi uang yang harus dibayar Rahim berjumlah besar. Utang itu ia dapat karena bisnisnya kolaps dan koleganya kabur sehingga Rahim harus melunasi pinjamannya sendirian.

Lalu suatu keajaiban terjadi. Kekasih baru Rahim, Farkhondeh, mendapatkan tas yang penuh akan kepingan emas. Bersama-sama mereka mencoba menukar emas itu dengan uang buat bayar utang Rahim. Tapi, karena beberapa alasan, mereka mengurungkan niat lantas menitipkan barang hilang tersebut ke pihak resmi terdekat.

Rahim, sebagai mantan tahanan yang terjerat utang, lantas dipuja-puja. Ia disambut bak pahlawan oleh media. Lembaga amal pun mendatanginya, memberinya uang untuk melunasi utang dan mencarikannya kesempatan kerja. Sekilas, masalah hidup Rahim sebentar lagi selesai, tapi tidak.

Rahim yang menarik perhatian media, lembaga amal, dan masyarakat, harus terus memenuhi keinginan mereka. Sebagian masyarakat memang doyan sekali dengan drama. Kesedihan-kesedihan hidup Rahim terus diamplifikasi televisi. Kebaikan hati Rahim didramatisir tanpa henti.

Di beberapa kesempatan, misalnya, anak dari Rahim yang disabilitas, yang mengalami gangguan hingga kesulitan berbicara, dipaksa memberi kesaksian tentang ayahnya di depan media dan khalayak umum. Cara bicaranya yang terputus-putus menimbulkan haru dan disukai oleh khalayak.

Rahim (dan kekasihnya) juga terpaksa memanipulasi cerita kebaikannya. Meski sebetulnya Farkhondeh yang menemukan tas berisi kepingan emas, Rahim terpaksa mengatakan di depan khalayak bahwa ialah yang menemukannya.

Rahim pada mulanya ingin jujur, bahwa ia hanya mengantarkan tas itu ke pihak berwajib. Namun, ia terpaksa berbohong dan bilang bahwa ia yang menemukan sekaligus mengembalikannya ke pihak resmi sebab ia masih menyembunyikan identitas kekasihnya. Kebohongan satu lantas melahirkan kebohongan lain. Dan Rahim harus terus berbohong, sebab ia dituntut masyarakat.

Dan pada akhir cerita, Rahim harus menanggung akibat dari kebohongan itu. Akibat pedih yang tak setimpal dengan “dosa” yang ia lakukan.

Rahim memang berbohong dan telah melakukan kesalahan. Sesekali, manusia berbohong. Dalam titik tertentu, berbohong adalah perilaku manusiawi. Kebaikan kecil yang dilakukan Rahim juga mestinya adalah hal wajar belaka. Berbuat baik adalah kewajiban setiap orang bila ada kesempatan.

Namun, apa yang dihadapi Rahim lantas memberi perenungan pada penulis: masyarakat, media, lembaga filantrofi dapat berlaku sangat jahat karena mengeksploitasi orang-orang papa. Mereka, dengan segala sumber dayanya, dapat mendramatisir setiap hal yang dilakukan orang-orang tak berdaya sehingga mereka menanggung beban di luar kemampuannya.