BARISAN.CO – Di era digital, masyarakat dimudahkan untuk mendapatkan pinjaman. Fenomena paylater atau bayar belakangan menjamur di beragam platform digital.
Sebuah penelitian The Ascent menunjukkan 41,31% mengganggap layanan paylater dapat menghemat uang tunai dalam keadaan darurat. Dan 30,34% lainnya menyebut menggunakannya sebagai alternatif karena telah berbelanja lebih banyak. Sedangkan 24,62% konsumen lainnya kehilangan penghasilan sehingga membutuhkan layanan ini untuk membeli barang.
Analisis industri senior, Ted Rossman menyebut konsumen yang menggunakan layanan ini akan berakhir sama seperti kartu kredit. Ketika ia membelanjakan lebih banyak, membayar lewat jatuh tempo, dan terlalu mengandalkannya akan berimbas buruk juga. Dan benar, masih dari survei The Ascent, 31,36% konsumen menyebut mereka telat membayar tagihan paylater sehingga dikenakan biaya keterlambatan.
Ada pun, barang yang dibeli dari layanan ini antara lain sebesar 47,46% untuk barang elektronik dan 40,68% untuk membeli pakaian dan barang mode. Persentase ini menunjukkan bukti, paylater berperanuntuk meningkatkan pengeluaran konsumen di atas kebutuhan dasarnya.
Bukan hanya Paylater, kini platform e-commerce seperti Shopee juga menawarkan dana segar yang dikirim ke akun rekening konsumen. Tentunya ini akan memudahkan masyarakat untuk berutang.
Jangan Sampi Terjebak
Direktur Center of Economic and Law, Bhima Yudhistira mengatakan fasilitas pinjaman lewat platform seperti itu kalau tidak digunakan untuk kebutuhan terdesak akan membuat masyarakat bergantung pada utang.
“Besar pasak daripada tiang ini membahayakan. Misalnya, gaji Rp3 juta, tapi memaksa membeli barang elektronik Rp15 juta melalui pinjaman platform e-commerce,” kata Bhima pada Barisanco, Jumat (10/12/2021).
Bhima menyarankan agar masyarakat tidak terjebak promosi hingga menjadi korban pinjaman atas pembelian barang yang tidak dibutuhkan. Ia juga meminta agar masyarakat menyisihkan gajinya untuk menabung daripada melakukan pinjaman online.
“Ini akan menjadi lebih rasional dalam memilih barang sesuai kebutuhan, bukan menjadi impulsive buyer,” lanjut Bhima.
Pembelian impulsif didefinisikan sebagai kecenderungan seseorang dalam membeli barang dan jasa tanpa adanya perencanaan sebelumnya. Ketika itu terjadi umumnya keputusan itu dipicu oleh emosi dan perasaan konsumen.
Impulsive buyer juga tidak mendasarkan pemikiran yang rasional. Pebisnis yang mencoba memanfaatkan perilaku ini pada akhirnya membuat konsumen terperosok pada utang.
Untuk itu, seperti yang disarankan oleh Bhima, sebaiknya masyarakat mulai lebih rasional dan menyisihkan gajinya untuk menabung daripada melakukan pinjaman online. [rif]