Scroll untuk baca artikel
Kolom

Belajar dari Pesantren Tahfidz Difabel BAZNAS (BAZIS)

Redaksi
×

Belajar dari Pesantren Tahfidz Difabel BAZNAS (BAZIS)

Sebarkan artikel ini

TAHUN 2019, jumlah staf kantor masih sangat terbatas, maklum masih dalam proses tranformasi dari awalnya BAZIS yang merupakan lembaga dibawah PEMPROV sehingga dibantu dengan tenaga ASN. Kemudian berubah menjadi organisasi non struktural di bawah PEMPROV yang tidak diperkenankan di kelola oleh ASN, maka seluruh ASN di tarik dari BAZNAS (BAZIS) dan pada kondisi tersebut kami seringkali lembur.

Sering sekali, kalau tidak bersamaan ada jadwal mengajar atau mengisi kajian beliau lalu duduk di antara meja Kabid dan saya serta Pak Sholeh biasa menemani sambil menyelesaikan jika memerlukan tanda tangan. Jadi pekerjaan sore itu jadi lebih cepat karena semua tanda tangan jadi bisa sekalian di dapatkan.

Nah, di sela itu kami gunakan waktu untuk menggali ilmu, belajar dari beliau. Topiknya bisa apa saja bahkan bisa juga sambil meledek jomblowan jomblowati yang menjadi karyawan.

Tapi topik yang mendominasi adalah tetap saja tentang bagaimana peran serta BAZNAS BAZIS untuk mengurangi kemiskinan. Berdialog dengan Kyai DR. Ahmad Luthfi Fathullah tentu berbeda dengan dialog kami yang seringkali tidak bernas, ada saja sudut pandang yang kemudian menjadi program Lembaga salah satunya adalah Pesantren Tahfidz Difabel BAZNAS BAZIS

Ceritanya adalah ketika kami mempersiapkan program untuk Ramadhan dua tahun silam itu, entah bagaimana tiba-tiba ada pertanyaan fiqhiyyah yang beliau kemukakan yaitu tentang bagaimana orang tuli mengikuti shalat jumat dimana khutbah adalah salah satu rukunnya.

Lontaran diskusi itu tentu saja jadi ramai karena sebagian menyatakan sah, dan sebagian lagi berpendapat berbeda. Yang menjadi keberatannya adalah karena mereka penduduk permanen bukan semacam musafir yang tidak paham khutbah di suatu tempat karena bahasa yang berbeda dalam tempat tersebut.

Lalu diskusi menjadi makin menukik tatkala dilihat dari sisi jamaah dan dilihat dari sisi penyelenggara yakni takmir masjidnya. Lontaran diskusi itu tentu karena kapasitas ke-ulamaannya dijawab sendiri oleh beliau bahwa hukumnya tentu sah.

Akan tetapi dialog sore itu kemudian memantik tindak lanjut program pada bulan Ramadhan untuk memberikan fasilitas translator/interpretator bahasa isyarat pada minimal 5 masjid di Jakarta.

Dengan cepat kami bergerak membuat flier untuk merekrut relawan. Syaratnya mengerti bahasa isyarat, dan memiliki pemahaman dasar tentang agama.

Akan tetapi sayangnya sampai Ramadhan 1441 berlalu, kami mendapati belum ada satupun aplikan yang mendaftar menjadi relawan penterjemah, padahal untuk kegiatan-kegiatan relawan lain umumnya sangat cepat untuk mendapatkan ratusan orang yang mengikuti.