Dalam program ILC TV One Karni Ilyas pernah menanyakan hal itu. Apakah Gatot takut?
Dengan lugas Gatot menjawab tidak takut. Sebagai mantan Panglima TNI, Gatot mengaku tidak bisa membayangkan apa dampaknya secara psikologis bagi parjurit TNI dan para yuniornya, bila dia tunduk pada tekanan.
Ketika para aktivis KAMI ditangkap, Gatot juga bersikap santai. Dengan lantang dia meminta agar tidak dikasihani. “Mereka aktivis yang sudah teruji dan tahu konskuensi dari perjuangannya,” ujarnya.
Jadi, dalam konteks itu, penganugerahan Bintang Mahaputera kepada Gatot dapat dilihat sebagai upaya lain untuk menundukkan Gatot.
Tidak mempan ditekan dengan jalan keras, Gatot coba dirangkul. Penghargaan ini semacam gula-gula, “suap politik” terhadap Gatot.
Pendekatan stick and carrot. Tongkat pemukul dan wortel.
Walaupun momentumnya diberikan bersamaan dengan peringatan hari pahlawan, namun penghargaan itu terkesan tiba-tiba! Ujug-ujug!
Kalau diberikan dalam kapasitas Gatot sebagai mantan Panglima TNI, mengapa baru diberikan sekarang?
Gatot diganti pada bulan Desember 2017. Sudah hampir tiga tahun berlalu. Pergantiannya kala itu juga terkesan mendadak. Belum waktunya pensiun.
Penggantian Gatot juga dibarengi spekulasi karena dia sering tidak sejalan dan berseberangan dengan Jokowi. Salah satunya dalam isu kebangkitan kembali PKI.
Gatot kala itu memerintahkan seluruh jajaran TNI untuk menggelar nonton bareng Film G 30 S PKI. Sebuah perintah yang terkesan menantang PDIP sebagai partai penguasa, sekaligus pengusung Jokowi.
Pola merangkul lawan politik ini sebelumnya juga pernah dilakukan pemerintahan Jokowi. Dua orang mantan wakil ketua DPR, Fahri Hamzah dan Fadlizon juga mendapat penghargaan serupa.
Penghargaan diberikan bersamaan peringatan HUT Kemerdekaan RI ke-75 bulan Agustus lalu. Infonya juga lebih dulu dibocorkan oleh Mahfud MD.
Duo F —begitu Fahri dan Fadli biasa dipanggil— selama ini selalu menyampaikan kritik keras terhadap pemerintahan Jokowi.
Penghargaan ini sebenarnya biasa saja. Diberikan kepada para mantan pemimpin lembaga negara. Namun dimanfaatkan untuk kepentingan strategi dan komunikasi politik.
Bagaimana sikap Gatot?
Apakah dia akan menerima penghargaan itu, atau menolaknya?
Posisi Gatot jelas sangat dilematis. Sangat ironis bila dia bersedia menerima penghargaan dari sebuah rezim yang memenjarakan para aktivis yang berjuang bersamanya di KAMI.
Sebagai seorang komandan, dia pasti sadar tengah dipisahkan dari pasukannya. Dia sedang dilumpuhkan. Kekuatannya sedang dilucuti.
Sikap ini bisa meruntuhkan moral, sekaligus memecah belah kekuatan KAMI.