Mata-mata paling berbahaya seperti Aldrich Ames dan Robert Hassen bahkan berulang kali lolos uji poligraf.
BARISAN.CO – Kata poligraf secara harfiah berasal dari bahasa Yunani: Polygraphos yang berarti banyak menulis. Leonardo Keller mendapatkan pengalaman dalam uji poligraf setelah bekerja bersama John A Larson dalam merancang poligraf yang menggunakan pena bertinta untuk merekam perubahan tekanan darah, denyut nadi, dan aktivitas pernapasan.
Poligraf versi Keller dianggap sebagai pendeteksi kebohongan baru dan lebih baik dari versi yang disempurnakan sebelumnya milik Joh A. Larson. Keller menambahkan komponen pengukuran fisiologis ketiga guna mendeteksi penipuan yakni psikogalvanometer. Komponen itu dapat mengukur perubahan dalam ketahanan kulit galvanik subjek selama interogasi.
Setelah mematenkan prototipe poligraf modern, Poligraf Keller, dia dikenal sebagai Bapak Poligraf sejak 1939.
Namun, jauh sebelum itu, versi lebih kuno telah ada sejak tahun 300 SM. Misalnya, suku Badui di Arab mengharuskan penulis menjilat besi panas apabila pernyataan-pernyataannya saling bertentangan. Bagi yang tidak terbakar lidahnya, maka dianggap jujur.
Keakuratan Uji Poligraf
Pada Senin, (6/9/2022), penyelidik Bareskrim Polri baru-baru ini melakukan pemeriksaan terhadap Bripka Ricky Rizal atas kasus pembunuhan berencana Brigadir J. Dir Tipidum Bareskrim Polri mengatakan, pemeriksaan itu menggunakan alat lie detector atau uji poligraf.
Namun, apakah uji kebohongan atau poligraf itu akurat?
Jack Kitaeff dalam bukunya “Psikologi Forensik” mengungkapkan, kebanyakan bukti ilmiah menunjukkan bahwa apa pun keakuratan yang diberikan oleh pemeriksaan poligraf, tampaknya berasal dari kesimpulan-kesimpulan yang dibuat oleh individu pemeriksanya tentang faktor-faktor, seperti sikap umum subjek daripada respon diagram aktualnya. Kebanyakan pemeriksa berpengalaman bahkan disebut-sebut akan sepakat bahwa kandungan kunci untuk poligraf yang diadministrasikan secara kompeten adalah pemeriksanya. Terlepas dari prosedur skoring terkomputerisasi atau tidak.
Dalam buku itu juga, dipaparkan, mata-mata paling berbahaya seperti Aldrich Ames dan Robert Hassen bahkan berulang kali lolos uji poligraf. Sehingga, banyak peneliti terus berhati-hati agar tidak bergantung pada poligraf demi keamanan nasional.
Meski, beberapa poligrafer profesional mengklaim tingkat keakuratan bisa mencapai 100 persen, namun objektivitas mereka harus dipertanyakan akrena menyangkut mata pencaharian mereka.
Sebuah survei tahun 1997 terhadap 195 psikolog dari The Society for Psychophysiological Research mencatat, mayoritas responden menyampaikan, deteksi kebohongan poligrafik tidak kuat secara teroritik karena dapat diakali dengan countermeasures (penanggulangan) yang bisa dipelajari dengan mudah dan hasil tesnya seharusnya tidak diterima di pengadilan.
Mengutip NITV Federal Services, pengacara Chicago William Scott Stewart menulis sebuah artikel berjudul “How to Beat the Lie Detector“. Dia menjelaskan, hasil poligraf dapat dimanipulasi dengan mengintensifkan emosi. Manipulasi itu selama kontrol pertanyaan. Caranya? Subjek mengontrol pernapasan, kontraksi otot stingter, menggigit lidah atau bagian dalam mulut, dan memikirkan hal yang mengerikan.
Selain itu, setelah bertahun-tahun menggunakan teknologi itu, mantan pemeriksa poligraf, Sersan Detektif kota Oklahoma, Doug WIlliam mulai tidak memercayai hasilnya. Dia menganggap nilai akurasi poligraf paling banyak hanya 50 persen.
Melansir VOX, laporan Leonard Saxe tahun 1983 untuk Kongres AS akhirnya mengarah pada pelarangan nasional pada pengusaha swasta memberikan tes kepada karyawan. Keputusan Mahkamah Agung AS juga mengatur penggunaan bukti poligrafik di beberapa pengadilan federal karena sama sekali tidak ada konsesus bukti bahwa poligraf dapat diandalkan.