“Malu adalah bagian dari iman, sedang iman tempatnya di Surga dan perkataan kotor adalah bagian dari tabiat kasar, sedang tabiat kasar tempatnya di Neraka.” (HR. Ahmad).
BARISAN.CO – Manusia diberikan sebuah nilai atau norma di masyarakat, salah satunya budaya malu. Sikap malu inilah yang membedakan manusia berbeda dengan makhluk lainnya, bahkan rasa malu merupakan hakiki manusia.
Melalui rasa malu inilah seseorang dikendalikan baik itu nafsu, pikiran maupun hatinya. Ia mampu mengendalikan diri seseorang agar dapat melakukan atau menghindari apa yang seharusnya dihindari.
Berbeda dengan binatang yang tidak diberikan rasa malu, mereka bisa seenaknya saja membuang kotor sembarangan maupun berhubungan intim. Sementara, manusia melalui norma dan aturan di masyarakat, terlebih lagi agama sangat menjunjung nilai-nilai budaya malu.
Diriwayatkan dari Abu Mas’ud Uqbah bin Amr al-Anshari al-Badri Ra, Rasulullah Saw bersabda:
عَنْ أإِنَّ مِمَّا أَدْرَكَ النَّاسُ مِنْ كَلاَمِ النُّبُوَّةِ الأُولَى إِذا لَم تَستَحْيِ فاصْنَعْ مَا شِئْتَ
Artinya: ”Sesungguhnya termasuk perkara yang didapati oleh manusia dari perkataan nubuwwah (kenabian) yang pertama adalah jika engkau tidak malu maka berbuatlah sesukamu.” (HR. Al Bukhari).
Hadits di atas menunjukan bahwa pentingnya menjaga rasa malu, salah satu nilai penting melihat sosok atau tokoh lihatlah dalam perbuatannya melalui rasa malu yang melekat pada dirinya. Jika seseorang memiliki rasa malu, tentu ia tidak akan melakukan tindakan korupsi, tidak memakan hak orang lain dan bahkan akan senantiasa memberikan pelayanan yang baik kepada yang membutuhkan.
Budaya malu inilah yang mengharuskan seseorang untuk menunjukkan sifatnya, ia akan merasa tidak nyaman dan tidak memiliki ketenangan jika pada dirinya melakukan tindakan yang dianggap tidak sopan, tidak pantas, atau tidak benar.
Terlebih lagi jika mamasukan unsur kata budaya, sebab setiap Negara dan bahkan daerah memiliki karakter kebudayaan masing-masing yang dibungkus dengan nilai agama. Misalnya di Negara Jepang, seorang siswa akan malu jika ia datang terlambat dan juga ia akan malu sekali jika buang sampah sembarangan.
Sikap malu memang selayaknya diajarkan sejak dini, terlebih lagi di sekolah, pemerintah maupun di ruang-ruang publik. Sehingga sikap malu tersebut menjadi budaya yang lebih baik untuk peradaban yang senantiasa menjunjung nilai-nilai kejujuran.
Melalui budaya malu akan mengutamakan keharmonisan dalam berhubungan, menghindari konflik dan juga merugikan orang lain. Oleh karena itu, cenderung lebih memilih untuk merasa malu daripada memperlihatkan kemarahan atau ketidakpuasan.
Budaya malu juga tercermin dalam cara seseorang berbicara, bertindak, bersikap dan berinteraksi dengan orang lain, seperti menggunakan bahasa yang sopan dan memperlihatkan rasa hormat pada orang yang lebih tua atau berkedudukan lebih tinggi.
Namun, perlu diingat bahwa budaya malu juga bisa memiliki sisi negatif, terutama jika berlebihan dan membatasi kebebasan individu atau hak asasi manusia. Oleh karena itu, penting untuk menjaga keseimbangan antara menghargai nilai budaya dan memastikan bahwa hak-hak individu tetap dihormati.
Budaya malu dalam Islam
Budaya malu dalam Islam telah disebutkan sebagaimana hadits di atas, jika engkau tidak malu maka berbuatlah sesukamu. Hal ini menunjukan betapa pentingknya menjaga sikap malu dalam ajaran agama Islam. Selain hadits di atas, sebagaimana Rasulullah Saw bersabda:
اْلإِيْمَانُ بِضْعٌ وَسَبْعُوْنَ أَوْ بِضْعٌ وَسِتُّوْنَ شُعْبَةً، فَأَفْضَلُهَا قَوْلُ لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ، وَأَدْنَاهَا إِمَاطَةُ اْلأَذَى عَنِ الطَّرِيْقِ، وَالْحَيَاءُ شُعْبَةٌ مِنَ َاْلإِيْمَانُ.
Artinya: ”Iman itu lebih dari 70 (tujuh puluh) atau 60 (enam puluh) cabang, cabang iman yang tertinggi adalah mengucapkan ‘La ilaha illallah’, dan cabang iman terendah adalah membuang gangguan (duri) dari jalan, dan rasa malu merupakan cabang dari iman.” (HR. Bukhari dan Muslim).