MUMPUNG dalam atmosfer Hajatan ke-495 Jakarta, sepertinya tidak berlebihan sebagai pembaca, penikmat dan penulis buku saya mengusulkan kepada penguasa Provinsi DKI Jakarta agar terus meningkatkan ekosistem literasi. Karena DKI Jakarta tidak lagi sebuah kota yang fokus mengejar pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan tetapi juga beranjak mempersembahkan kebahagiaan bagi warganya.
Jakarta harus bisa mengejar paling tidak mendekati kota-kota metropolis di Eropa terutama di negara-negara Skandinavia yang selain sejahtera juga memiliki indeks literasi dan kebahagiaan yang tinggi.
Apalagi bila memang ibu kota negara jadi berpindah ke Kalimantan Timur, Jakarta tidak lagi disibukkan dengan statusnya yang serba protokoler dan juga banyak pembatasan. Lepas dari status ibu kota negara otomatis mobilitas warga Jakarta dan juga turis asing akan semakin cair karena tidak ada lagi tempat yang dianggap memiliki perlindungan atau pengamanan maksimum karena elite sudah berpindah ke Ibu Kota Nusantara.
Kondisi ini sangat mendukung Jakarta menjadi kota global yang menjadi ambisi Anies Baswedan. Kota yang sangat terbuka dan multikultur. Untuk mengundang turisme mancanegara, Jakarta tidak bisa mengandalkan promosi biasa-biasa saja atau alamiah. Justru, Jakarta harus membuat event internasional dan ini sudah dibuktikan dengan ajang Formula E yang sukses besar. Ajang ini bagian dari bancmark untuk menjadikan Jakarta sebagai kota global.
Nah, subsektor ekonomi kreatif yang sampai saat ini belum dioptimalkan — atau mungkin diabaikan — oleh Pemerintah Pusat dan Pemprov DKI Jakarta adalah terkait industri perbukuan. Peluang ini harus dioptimalkan Pemprov DKI Jakarta karena Pemerintah Pusat terlalu sibuk dengan segala permasalahannya yang kompleks.
Pemprov Jakarta memiliki dasar atau landasan kuat untuk mendongkrak ekonomi kreatif dan turisme lewat industri perbukuan. Jakarta yang berjuluk sebagai City of Literature alias Kota Sastra Dunia dari UNESCO pada 8 November 2021 selayaknya dioptimalkan. Penobatan ini menyejajarkan Jakarta dengan 49 kota di dunia lainnya yang memiliki tradisi sastra yang melegenda.
Tidak berlebihan bila di Jakarta kelak digelar pameran buku internasional selevel Frankfurt Book Fair atau London Book Fair. Indonesia atau warga Jakarta tidak lagi hanya jadi pengunjung atau peserta pameran di event penting tersebut dalam industri perbukuan tetapi juga menjadi tuan rumah.
Untuk sampai menjadi tuan rumah ajang tersebut ekosistem perbukuan di Indonesia harus berkembang lebih cepat. Harus ada ekselerasi baik itu dalam kebijakan maupun sumber daya manusianya. Misalnya saja pemerintah secara masif mendukung penerjemahan buku-buku karya asli Indonesia ke dalam beragam bahasa terutama bahasa Inggris. Kemudian pemerintah juga membebaskan berbagai pajak untuk industri buku dan memberikan insentif kepada para penulis.
Karya buku klasik dan mutakhir tentang Jakarta sudah sangat banyak baik itu fiksi atau nonfiksi. Ini adalah modal utama Jakarta untuk mentas dalam dunia perbukuan di dunia internasional. Sayangnya sangat minim yang diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dan bahasa asing lainnya.
Sebenarnya untuk buku-buku sejarah Jakarta kita sudah sangat terbantu oleh penulis-penulis asing. Sangat banyak bahkan sudah ratusan judul yang terbitkan oleh Komunitas Bamboe Jakarta baik dari bahasa Inggris atau bahasa Belanda. Buku ini sangat penting karena turis asing terutama Eropa yang ke Jakarta lebih banyak yang napak tilas tentang Jakarta Tempo Doeloe atau Batavia. Jakarta yang pernah disinggahi Portugis, Inggris dan Belanda.