DI pertengahan bulan Agustus 2022, sebuah sekolah berbasis asrama menyelenggarakan kegiatan perkemahan. Lembaga pendidikan tersebut telah lama menerapkan pola asuh dan disiplin asrama yang cukup ketat, selain mendidik setiap anak untuk berdisiplin, mereka juga diasah keterampilan bertanggungjawab, yang menjadi budaya lembaga sekolah tersebut.
Sistem organisasi siswa di lembaga tersebut mengadopsi pola struktural yang terdiri dari pengurus level ruang asrama siswa, hingga kepengurusan tingkat level kelas, kepengurusan organisasi tingkat siswa secara keseluruhan, lalu kemudian pembina organisasi yang membawahi, dikenal dengan istilah “Bagian Kepengasuhan”.
Usai perkemahan, tiga orang siswa yang merupakan panitia perkemahan mengembalikan peralatan kemah kepada kakak kelasnya (siswa senior) yang merupakan koordinator perlengkapan dan peralatan. Penanggungjawab perlengkapan mendapati ada pasak tenda yang hilang. Peminjam diberi waktu untuk mencari pasak yang hilang dan diminta menyerahkannya jika sudah ditemukan. Namun hingga waktu yang ditentukan, peminjam tidak bisa menemukan pasak yang hilang tersebut.
Pengurus menjadi kecewa dan marah, lalu memberi hukuman fisik dengan memukul bagian paha para pelapor dengan tongkat pramuka. Kemudian siswa senior lain datang dan menendang dada siswa pelapor tersebut hingga terjatuh, kemudian mengalami kejang.
Para pengurus melihat kejadian tersebut segera membawa korban ke rumah sakit milik lembaga sekolah tersebut. Namun akhirnya pihak dokter menyatakan korban telah meninggal dunia.
Korban disebutkan mengalami kelelahan akibat kegiatan perkemahan. Namun berdasarkan laporan orang tua dan hasil autopsi jenazah, ditemukan luka memar akibat benda tumpul, yang kemudian itu membuktikan penyebab kematian korban.
Tentang bullying di lembaga pendidikan
Bullying di sekolah , seperti bullying di luar konteks sekolah, mengacu pada satu atau lebih pelaku yang memiliki kekuatan fisik atau sosial yang lebih besar daripada korbannya dan bertindak agresif terhadap korbannya dengan cara verbal atau fisik. Berbagai jenis bullying di sekolah termasuk fisik, emosional, verbal, cyberbullying, juga seksual.
Ada tanda-tanda peringatan untuk situasi seorang anak yang diintimidasi, seorang anak yang menjadi pengganggu, dan seorang anak yang telah menyaksikan intimidasi di sekolah.
Pada dasarnya korban dan pelaku bullying memiliki karakteristik yang berbeda yang dapat menjadi indikator status mereka. Ada banyak efek bullying di sekolah, yang paling umum adalah perasaan depresi, kecemasan, kemarahan, stres dan ketidakberdayaan. Dalam kasus yang ekstrem terjadi korban meninggal dunia, bahkan ada yang mengalami depresi berat lalu bunuh diri.
Di lembaga-lembaga pendidikan berbentuk asrama seperti pondok pesantren, fenomena bullying seperti gunung es, bahkan – sepengetahuan saya yang pernah tinggal di pondok pesantren, perilaku bullying, yang ditandai dengan intimidasi serta kekerasan seakan menjadi “dark culture” dalam dunia Pendidikan.
KPAI mencatat dalam kurun waktu 9 tahun, dari 2011 sampai 2019, ada 37.381 pengaduan kekerasan terhadap anak. Untuk Bullying baik di pendidikan maupun sosial media, angkanya mencapai 2.473 laporan dan trennya terus meningkat.
Kultur bullying di lembaga pendidikan menurut saya telah lama ada, apalagi di lembaga pendidikan berbentuk asrama; pondok pesantren, lembaga pendidikan aparatur negara, dan lembaga pendidikan lainnya yang berbentuk asrama.
Pola hubungan senior – yunior di lembaga pendidikan merupakan salah satu penyebab kultur intimidasi terjadi. Pola asuh dan didik dengan pendisiplinan siswa secara kaku dan militeristik juga menyumbang terbentuknya perilaku otoriter dan “premanisme” dalam melaksanakan proses pendidikan di sebuah lembaga sekolah.