ALKISAH di sebuah kampung yang udaranya masih segar, tinggallah seorang Ustaz kharismatik yang dijuluki Ustaz Reformis Lingkungan.
Tasbihnya tak pernah lepas.
Dalilnya selalu pas.
Tiap kali hadir di tengah masyarakat, Ustaz Reformis Lingkungan selalu memberi pesan sejuk.
Dengan sorot mata teduh, tasbih di tangan, dan suara lembut yang seperti embun subuh.
Ia berkata:
“Bapak-bapak, ibu-ibu…
Bumi ini bukan milik kita, ini titipan dari Allah.
Kalau kita rusak, sama saja kita berkhianat pada amanah Tuhan.
Jangan biarkan tambang-tambang merobek perut ibu pertiwi.”
“Janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi setelah diatur dengan baik. Berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut dan penuh harap.” (QS. Al-A’raf: 56)
Warga terdiam. Ada yang mengangguk. Ada yang terisak.
Seekor kambing bahkan tampak berhenti makan, seolah paham konteks.
Begitu juga seekor ayam yang biasa ribut tiap pagi pun kali ini diam, mungkin sedang merenungkan isi pesannya.
Bahkan angin sempat berhenti berembus sejenak, mungkin malu membawa pesan yang tak sejalan dengan tindakan.
Namun, sore harinya di rumah…
suasananya jauh berbeda.
Aroma kopi bercampur aroma kesepakatan.
Rumahnya jadi ruang lobi proyek berjubah doa.
Peta tambang terbuka di atas meja, berdampingan mesra dengan kitab tafsir.
“Bismillah,” ucap sang Ustaz Reformis Lingkungan sambil membuka lembar MoU.
“Ini semua demi kemaslahatan. Kalau izinnya resmi, tentu tidak termasuk merusak…”
Alhamdulillah, proyek tambang ini membawa berkah.
Membuka lapangan kerja dan akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi.
Ini bukan sekadar tambang. Ini bagian dari jihad ekonomi.
“Jadi jangan ragu… karena selama pohon masih ada untuk ditebang, tanah masih bisa digali, dan umat masih bisa dihibur maka semuanya insyaAllah berkah.”
Sang Ustaz Reformis Lingkungan menutup dan berpesan, “Ingat, yang penting bukan apa yang kita rusak… tapi niat kita saat merusaknya.” []