Scroll untuk baca artikel
Kolom

Bullying di Sekolah; Catatan Gelap Kultur Lembaga Pendidikan

Redaksi
×

Bullying di Sekolah; Catatan Gelap Kultur Lembaga Pendidikan

Sebarkan artikel ini

Di lembaga-lembaga pendidikan berbentuk asrama seperti pondok pesantren, fenomena bullying seperti gunung es, bahkan – sepengetahuan saya yang pernah tinggal di pondok pesantren, perilaku bullying, yang ditandai dengan intimidasi serta kekerasan seakan menjadi “dark culture”  dalam dunia Pendidikan.

KPAI mencatat dalam kurun waktu 9 tahun, dari 2011 sampai 2019, ada 37.381 pengaduan kekerasan terhadap anak. Untuk Bullying baik di pendidikan maupun sosial media, angkanya mencapai 2.473 laporan dan trennya terus meningkat. 

Kultur bullying di lembaga pendidikan menurut saya telah lama ada, apalagi di lembaga pendidikan berbentuk asrama; pondok pesantren, lembaga pendidikan aparatur negara, dan lembaga pendidikan lainnya yang berbentuk asrama.

Pola hubungan senior – yunior di lembaga pendidikan merupakan salah satu penyebab kultur intimidasi terjadi. Pola asuh dan didik dengan pendisiplinan siswa secara kaku dan militeristik juga menyumbang terbentuknya perilaku otoriter dan “premanisme”  dalam melaksanakan proses pendidikan di sebuah lembaga sekolah.

Kemudian, adanya kultur disiplin ‘negatif’ dalam penegakkan aturan dan disiplin sekolah pun turut memberikan peluang terjadinya tindakan bullying. Malah sering guru juga terlibat tindakan membully siswa dengan alasan ‘mendidik’. Padahal mereka sesungguhnya telah terjebak kepada pola pikir yang salah dan bahkan bertentangan dengan nilai-nilai pendidikan yang substantif.

Beberapa catatan kasus bullying di sekolah yang cukup menyedihkan disebutkan oleh KPAI; setidaknya ada sekitar 18 kasus kekerasan anak di satuan pendidikan pada periode 2 Januari hingga 27 Desember 2021. Dalam hal kekerasan seksual pada anak didominasi oleh kasus yang terjadi di satuan pendidikan yang bernaung di Kementerian Agama dengan 14 kasus atau 77,78 persen.

Sementara 4 kasus lainnya atau 22,22 persen terjadi di satuan pendidikan di bawah naungan Kemendikbud Ristek. Mayoritas terjadi di lembaga pendidikan berbentuk asrama atau pesantren. Bahkan di antara pelakunya adalah guru atau pimpinan lembaga.

Pengalaman yang semakin tinggi eskalasinya dalam proses penanganan siswa di lembaga pendidikan, baik yang berasarama maupun yang umum, secara tidak disadari telah membentuk kultur “pembenaran” untuk tindakan kekerasan terhadap anak dalam koridor pendidikan.

Itulah yang dapat dikatakan bahwa akumulasi kekerasan di sekolah, baik sesama siswa, ataupun oleh guru terhadap siswa, yang menyuburkan benih-benih kekerasan dan tindak kejahatan berikutnya di kemudian hari. Dan kasus di pesantren dalam kejadian di atas, adalah praktik “intimidasi dan kekerasan” berbalut penegakkan disiplin dan budaya pesantren yang harus dievaluasi.