BARISAN.CO – Rumah Sastra Kalwungu punya gawe Bedah Kumpulan Cerpen Karonsih karya Mugi Astuti. Bertempat di Omah Kopi Proletar, Kaliwungu, Kabupaten Kendal membincang fenomena ketidakadilan buruh migran terlebih buruh perempuan.
Kumpulan cerpen mengambil judul Karonsih, seperti tari tradisi dari Jawa Timur yakni Tari Karonsih. Karonsih berasal dari bahasa jawa yang memiliki arti kekaron atau sakloran tansah asih memiliki arti keduanya saling mencintai.
Karonsih sebagai perlambang kisah cinta atau hubungan antara laki-laki dengan perempuan. Sebagaimana kisah cinta karonsih yang dikisahkan dalam asmara Dewi Sekartaji yang dikenal dengan putri Galuh Candra Kirana dengan Panji Asmara Bangun.
Mugi Astuti mengatakan karyanya hanya bagian dari kisah hidupnya dalam menjalani pengalaman menjadi buruh perempuan di negeri orang, Minggu (12/6/2022)
“Bagaimana perempuan itu mampu mengatasi persoalannya,” imbuhnya.
Cerpenis asal Mijen Kota Semarang ini menyampaikan ketika saya berbicara fenomena ketidakadilan buruh perempuan, apakah ini feminism?
“Saya cuman mengungkapkan ketidakberesan yang harus dibenahi. Seperti kekerasan, beranikah kita mendobrak dan membereskan sehingga menjadi lebih baik untuk perempuan,” tegas mantan buruh migran Indonesia (BMI) di Hongkong selama tujuh tahun ini.
Lantas apakah hubungan kisah cinta dalam tari karonsih dengan kumpulan cerpen Karonsih karya Mugi Astuti.
Menurut Mugi, jika berbicara cinta atau kisah cinta. Cinta bukan sekadar diterjemahkan hubungan antara laki-laki dan perempuan. Akan teapi cinta yang lebih luas.
Heri Candrasantosa selaku pembedah menyitir kredo dari Martin Alieda yang mengatakan “takdir sastra adalah berpihak pada korban, kepada mereka yang dijahili.
“Karya Mugi seakan menghadirkan kawan buruh migran, potret dan menjadi pintu masuk memahami buruh migran,” imbuhnya.
Menurut Heri kisah karonsih, ada beragam persoalan yang dialami para buruh migran. Bukan sekadar persoalan ekonomi, namun ada yang melingkupinya seperti persoalan keluarga dan demografi.
“Beberapa cerpen Karonsih karya Mugi Astuti bisa mewakili persoalan buruh migran. Sebuah tragedi kasih tak sampai,” terang pegiat Sastra Lereng Medini ini.
Heri mengatakan membaca cerpen Karonsih menceritakan pada dimensi yang berbeda yakni seperti kisah Siti Nurbaya, bagaimana dominasi budaya patriarki, perjodohan menjadi bagian intrik budaya masyarakat.
“Meski demikian karya Mugi patut diapresiasi, karena bukan sekadar berbicara cinta atau perjodohan. Akan tetapi ada persoalan lain yang lebih dalam yakni ketidakberesan yang dialami Buruh Migran Indonesia (BMI),” jelasnya.
Bergam persoalan BMI dalam dimensi sastra menurut Heri, inilah fenomena sosial yang terjadi. Inilah keunggulan sastra mampu menguak sesuatu yang ditutup-tutupi maupun yang tabu.
“Dihadapkan pada kisah tragedi, sebagaiman kisah Yunani yakni Sisifus yang dikutuk. Kritik saya, beberapa plot dan titik tergoda banyak bermain opini yang berlebih,” tegas Heri.
Pengalaman menjadi buruh migran
Ifah Kanaya menanggapi cerpen Karonsih dengan menyatakan bahwa dirinya seperti berada di dalam kisah cerpen tersebut.
“65 persen kisah dalam cerpen Karonsih, terlebih bicara tentang BMI adalah kisah hidup saya,” terang Ifa.
Berbeda dengan yang diamali Mugi Astuti menjadi buruh Migran di Negara Hongkong, Ifa menjadi buruh migran di Timur Tengah. Pengalaman kerja di Hongkong dengan Timur Tengah berbeda.
“Pengalaman menjadi BMI di Timur Tengah bisa berpindah-pinah majikan. Berbeda dengan di Hongkong yang sulit berpindah. Begitu juga gaya hidup, orang-orang Timur Tengah lebih kaya-kaya dan lebih terjamin dari pada di Hongkong,” jelas kepada cabang perusahaan penyalur tenaga kerja Indonesia ini.