Rencana China membangun pabrik susu dan peternakan sapi di Indonesia menuai sorotan tajam, terutama terkait klaim swasembada dan dominasi investasi asing di sektor pangan strategis.
BARISAN.CO — Rencana investasi besar dari China untuk membangun pabrik pengolahan susu hingga peternakan sapi di Indonesia menuai perhatian dari berbagai kalangan, termasuk pengamat ekonomi dari Bright Institute, Awalil Rizky. Dalam kanal YouTube-nya, ia menyampaikan analisis kritis terhadap berita yang bersumber dari pernyataan Wakil Menteri Pertanian (Wamentan) Sudaryono.
Dalam acara Indonesia-China Business Reception 2025 yang digelar di Hotel Shangri-La, Jakarta, Sabtu (24/5), Wamentan mengungkap bahwa China tertarik berinvestasi di sektor penyediaan susu dengan membangun pabrik pengolahan dan berencana mendirikan peternakan sapi di Indonesia.
Sudaryono menyebutkan bahwa investasi tersebut masih dalam tahap negosiasi dan belum ada rincian nilai yang disampaikan ke publik.
Awalil Rizky menekankan bahwa sumber informasi tersebut masih bersifat satu arah karena hanya berasal dari pihak Indonesia.
“Dari berita yang saya baca di beberapa media, semuanya bersumber dari pernyataan Wamentan, tidak ada konfirmasi langsung dari pihak China,” ujarnya.
Menurut Awalil, penting bagi publik untuk memahami bahwa rencana investasi tersebut masih dalam tahap awal dan perlu kehati-hatian dalam menyikapinya.
“Seringkali berita seperti ini terlalu cepat diglorifikasi, padahal realisasinya belum tentu secepat itu. Apalagi belum ada rincian lokasi pabrik, bentuk kerja sama, dan siapa yang akan terlibat secara langsung,” tambahnya.
Sudaryono menyebut bahwa Indonesia saat ini tengah mendorong hubungan dagang resiprokal dengan China, termasuk untuk menembus pasar China dengan produk seperti durian, sarang burung walet, dan produk unggas. Namun, Awalil menilai bahwa prinsip resiprokal ini belum tampak nyata dalam struktur perdagangan yang ada.
“Jika kita bicara tentang resiprokal, maka seharusnya juga jelas produk-produk kita bisa masuk dengan mudah ke pasar China. Tapi sekarang, yang terlihat justru kita menagih investasi mereka, bukan sebaliknya,” jelasnya.
Terkait dengan rencana swasembada susu, Awalil mempertanyakan definisi swasembada yang digunakan pemerintah.
“Apakah kita bisa disebut swasembada jika sapinya milik asing, peternakannya milik asing, dan pabriknya juga dimiliki asing meski berada di wilayah Indonesia? Ini pertanyaan yang perlu dijelaskan oleh pemerintah kepada publik,” tegasnya.
Ia menyoroti bahwa saat ini Indonesia hanya mampu memenuhi sekitar 20–25 persen kebutuhan susu nasional dari produksi dalam negeri. Sisanya, sekitar 75 persen, masih bergantung pada impor.
Dengan begitu, langkah membangun industri susu menjadi strategis, namun harus dengan prinsip kehati-hatian agar tidak meminggirkan peternak lokal.