Scroll untuk baca artikel
Blog

Connie Bakrie: Kekuatan Militer Indonesia Belum Utuh

Redaksi
×

Connie Bakrie: Kekuatan Militer Indonesia Belum Utuh

Sebarkan artikel ini

“Kita negara maritim terbesar di dunia yang belum bisa menggelar kekuatan militer hingga utuh baik secara Brown, Green apalagi memenuhi Nawacita untuk menjadi Blue Water Navy,” Connie Rahakundini Bakrie (Pengamat Militer)

BARISAN.CO – Indonesia adalah negara kepulauan dengan 17.499 pulau yang terbentang dari Sabang hingga Merauke. Total luas wilayah Indonesia sekitar 7,81 juta km2 hanya 2,01 juta km2 berupa daratan dan 3,25 juta km2 adalah lautan. Sebab, itulah Indonesia disebut sebagai negara maritim karena luas lautan melebihi daratannya.

Meski, memiliki lautan yang begitu luas, Indonesia belum mengeksplor lebih dalam. Hal ini tampak seperti yang disampaikan oleh pengamat militer Connie Rahakundini Bakrie beberapa waktu lalu kepada Barisanco beberapa waktu lalu.

“Kita negara maritim terbesar di dunia yang belum bisa menggelar kekuatan militer hingga utuh baik secara Brown, Green apalagi memenuhi Nawacita untuk menjadi Blue Water Navy. Visi Poros Maritim Dunia ini selayaknya harus berdampak signifikan pada aspek pertahanan dan membawa pada pertanyaan mendasar untuk apa dan kemana kekuatan militer kita akan dibangun dan digelar,” kata Connie saat berbincang dengan tim barisanco beberapa waktu lalu.

Mengutip Military Wiki, Dinas Keamanan Pertahanan Amerika Serikat mendefinisikan Blue Water Navy sebagai kekuatan maritim yang mampu beroperasi secara berkelanjutan melintasi perairan terbuka. Itu memungkinkan suatu negara memproyeksikan kekuatan jauh dari negara asal dan biasanya mencakup satu atau lebih kapal induk.

Istilah brown-water navy mengacu pada kapal perang kecil dan kapal patroli yang digunakan di sungai persama beberapa kapal yang lebih besar untuk mendukung kapal induk dari mana mereka beroperasi. Sedangkan, green-water navy, lebih menggambarkan kekuatan angkatan laut nasional yang dirancang khususnya untuk memberikan pertahanan di wilayah pesisir dan memungkinkan memperoleh kemampuan mempertahankan operasi di laut terbuka.

Perempuan lulusan Birmingham University ini mengungkapkan, ada dua alasan, Indonesia harus menjawab pertanyaan itu.

“Pertama, terkait aspek Pertahanan dan Keamanan yang bertitik berat pada arah pengembangan sumber daya, sistem, dan implementasi pengawasan, pemantauan dan pengendalian keamanan dan pertahanan maritim Indonesia yang efektif. Mewujudkan SLOC (Sea Lines of Code) dan SLOT (Self-Load/Offload Trailer) yang aman dan mampu diawasi dengan baik, sehingga mampu berkontribusi menyediakan sistem pemantauan dan pengendalian perlindungan pemanfaatan sumberdaya kelautan di tingkat regional dan internasional,” ujarnya.

Yang kedua, Connie menyebut, terkait aspek system logistic.

“Poros logistik yang tepat dapat menjadikan Indonesia sebagai salah satu penyedia fasilitas sistem logistik kemaritiman sehingga selain bisa mendukung pergerakan militer juga mampu menjadi alternatif utama bagi berbagai lalu lintas barang, jasa, dan kegiatan kemaritiman kawasan dan dunia,” ungkapnya.

Menurut Connie, jika dibandingkan dengan Republik Rakyat Tiongkok, AS, bahkan Perancis, Indonesia sangat jauh kemampuan karena ketiga negara tersebut mampu menggelar kemampuan Blue Navy.

“Sementara negara maritim seperti Jepang malah nampaknya menahan (bukan tidak mampu) diri untuk menjadi kekuatan Blue Water Navy,” tambahnya.

Tahun ini, anggaran Kementerian Pertahanan mengalami kenaikan sebesar 13,28% dibandingkan tahun lalu dari Rp118,2 triliun menjadi 133,9 triliun.

“Sering saya ungkapkan jika menggunakan basis anggaran, kebutuhan tidak akan pernah cukup untuk menguatkan pertahanan. Namun, gunakan logika semahal apa pun alat keamanan, masih lebih mahal nyawa manusia atau warga negaranya. Tanpa keamanan, maka mustahil melakukan pembangunan ekonomi sosial dan sebagainya,” tutur Connie.