MESKIPUN sudah bergabung puluhan tahun dengan Partai Kornet, Olet merasa dirinya tak ada yang berubah. Lidahnya tetap tajam menyuarakan kecemasan masyarakat. Itulah sebabnya ketika diajukan menjadi caleg, Olet terpilih dengan suara terbanyak tanpa mengeluarkan beaya kampanye. Ia “hanya” keluar beberapa ratus juta rupiah saja, untuk mengisi kas partai agar terjamin masuk daftar caleg.
Kini ia sudah sepuluh tahun menjadi anggota DPRD Kota. Ia tetap tak berubah. Ia masih Olet yang dikenal pemilihnya sama seperti saat belum menjadi anggota DPRD.
Menjelang habis masa jabatannya periode kedua, belakangan Olet merasa gelisah. Bukan khawatir tak dicalonkan atau tak jadi anggota DPRD lagi. Ia gelisah karena lidahnya mulai berulah.
Olet selalu menggunakan kata “daripada” tidak pada tempatnya. Mungkin itu satu-satunya perubahan yang kasat mata.
Olet ingat persis, kata itu terucap pertama kalinya ketika mengetahui tokoh partainya menghendaki agar putra sulungnya menjadi Wali Kota.
“Saya tidak keberatan dengan pencalonan daripada mas Kahlil. Bagi saya yang penting kepentingan daripada warga kota bisa diakomodir,” kata Olet saat menjawab pertanyaan media.
Olet tidak tahu, kapan kosa kata daripada itu menyelundup dan mendikte mulutnya. Otaknya jelas tak pernah memberi perintah mengucapkan kosa kata daripada. Tapi mulutnya sangat sulit dikontrol.
“Bajindul. Aku kok jadi kayak pejabat-pejabat partai. Asu tenan lidahku ini,” kata Olet kepada Lucap, istrinya.
“Apa yang salah? Bukannya kamu memang sekarang sudah jadi pejabat partai?” kata Lucap.
Lucap ingin menjadi seorang istri yang bercitra mendukung suaminya dalam kondisi apapun. Itulah sebabnya ia menyampaikan hal itu.
Selain anggota DPRD, Olet memang menjabat sebagai sekretaris Partai Kornet tingkat kota. Awalnya ia menolak jabatan itu, ia malu dan tak ingin dianggap kemaruk jabatan sehingga semua dipegang.
Oleh para kader, ia sudah dipanggil pak sekretaris, meskipun SK pengangkatan sebagai sekretaris belum diterima. Namun bisik-bisik di internal Partai Kornet memastikan ia akan menjadi sekretaris.
Itulah sebabnya ia mulai rajin latihan berpidato. Kebetulan momentum pelantikannya agak dekat dengan agenda pemilihan wali kota, jadi posisinya memang strategis.
“Saya yakin, semua daripada partai politik yang ada akan mendukung mas Kahlil. Bagaimanapun peran daripada mas Kahlil sangat dibutuhkan untuk memajukan daripada kota kita,” demikian Olet mematut-matut diri berlatih pidato di depan cermin.
Lucap berpikir keras agar suaminya tak latah menggunakan kata daripada. Sedikit ia bisa menyimpulkan bahwa secara psikologis seorang politisi harus berpikir cepat, bertindak cepat, juga ngomong seperti hapalan.
Dari situlah Lucap mengerti bahwa kecepatan berpikir Olet kalah adu sprin dengan lidahnya. Ketika otak masih berpikir untuk memberi perintah lidah, si lidah tak sabar. Sambil menunggu perintah ia akan mengucap daripada, daripada, daripada.
“Kulihat kecepatan berpikirmu masih rendah dibanding nafsumu untuk ngomong. Itu sebabnya. Selain itu, kulihat kamu nggak punya contoh pidato pejabat yang bagus. Pidato pejabat kita kan semua ngaco,” Lucap menyampaikan analisanya.
Hari pelantikan sebagai sekretaris Partai Kornet semakin dekat. Olet masih bersikukuh ingin mengendalikan lidahnya. Ia ingin berpidato tanpa salah dalam penggunaan bahasa.
“Tenang aja mas. Kebenaran itu ada pada pemahaman yang hidup di masyarakat. Bukan pada pelajaran berbahasa Indonesia yang baik dan benar,” Lucap menghibur sang suami.
Olet berupaya keras menyingkirkan penyakit daripada ini. Menyepi ke gunung, berpanasan ke pantai, ngebut di jalan tol, sambil ia berlatih menghilangkan penyakit lidah yang bernama daripada itu.