Scroll untuk baca artikel
Blog

Dawuh – Cerpen Noerjoso

Redaksi
×

Dawuh – Cerpen Noerjoso

Sebarkan artikel ini

ENTAH sudah berapa lama Kang Mat bersimpuh di samping nisan Kyai Jamil.  Sudah puluhan kali juga sorban yang ia lilitkan di lehernya itu ia gunakan untuk menyeka air matanya.  Padahal biasanya ia begitu sangat eman sekali dengan kain sorbannya tersebut.  Bukan hanya harganya yang mahal tetapi itu adalah kain sorban yang ia beli ketika pergi haji beberapa bulan yang lalu.  Tentu saja kain itu sangat istimewa bagi orang kampung dan miskin semacam Kang mat.  Jangankan pergihaji , pergi ke ibukota dengan bis kelas VIP saja sudah seperti mimpi.

“Aku sudah tidak kuat lagi Kyai.  Ijinkan aku pulang kampung,” ucap kang Mat sambil tersedu-sedu.

“Lebih baik aku macul, ngarit dan angon saja Kyai,” ucapnya kembali dengan nada memelas.  Tangisnya begitu menyayat hati.  Umurnya yang hampir setengah abad seperti tak menghalanginya untuk berurai air mata. Kang Mat sendiri tidak tahu apakah tangisnya itu adalah sebuah penyesalan atas nasibnya atau sekedar letih atas beban yang harus ia pikul.  Pokoknya ia merasa tidak kuat saja dalam menjalani hidupnya.

Merasa pegal dan capek bersimpuh di samping nisan Kyai Jamil, Kang Mat lalu beringsut menuju tiang penyangga cungkup kuburan yang dikeramatkan oleh penduduk kampung tersebut.  Disandarkan saja punggung tuanya itu ke tiang cungkup kuburan sembari menselonjorkan kakinya.  Hawa pekuburan yang sejuk serta kesenyapan suasananya seperti mengajak Kang Mat untuk merenungi kembali jalan hidupnya.

“Kalau dipikir-pikir Aku ini memang santri yang paling beruntung dibandingkan santri-santri  Kyai Jamil yang lain.  Sebagai santri aku selain diangkat menjadi menantu kyai juga sering diberi kepercayaan oleh beliau,” ujarnya dalam hati sambil memandangi nisan dari batu kali tersebut.  Sepertinya kesunyian komplek pekuburan telah berhasil membawa ingatan Kang Mat terbang ke hari-hari yang telah ia lewati.

Masih segar dalam ingatannya, sebulan sebelum Kyai Jamil mangkat, ia ditimbali untuk menghadap beliau.  Ketika ia sowan, di hadapan Kyai Jamil sudah terlihat beberapa orang tamu.  Tampaknya tamu dari kota.  Mobil mewah terlihat terparkir di halaman pesantren.  Plat nomornya sangat khusus.  Hanya ada 1 angka saja.  Sementara huruf di depan angka tersebut adalah huruf yang mencirikan khas plat nomor kendaraan ibukota.

“Ikutlah dengan bapak-bapak ini.  Di sana Engkau kuamanati menjadi imam masjid sekaligus ketua takmirnya.  Asuhlah jamaah di sana seperti Engkau mengasuh santri-santrimu yang ada di sini,” perintah Kyai Jamil malam itu kepada Kang Mat.

Sendika dawuh Kyai!” jawab Kang Mat mantap.  Kang Mat sendiri heran, mengapa ia tiba-tiba menjawab sedemikian mantapnya.  Ia sendiri tidak tahu apakah kemantapannya itu didorong oleh rasa kepatuhannya kepada dawuh Kyai Jamil gurunya tersebut atau hanya sekedar rasa ingin merubah nasibnya saja. 

Sebelum Engkau dipasrahi untuk menjadi imam masjid di sana, warga di sana memberimu hadiah untuk berangkat haji.  Mereka ingin Kyainya kelak orang yang sudah sempurna menjalankan rukun islam,” sambung Kyai Jamil lagi.  Mendengar bahwa ia akandihajikan , hati lelaki kampung itu semakin berbunga-bunga.  Di benaknya sudah terbayang betapa ia nanti akan dipanggil Kyai Haji.  Sebutan yang tak hanya keren tapi juga gimana gitu, batin Kang Mat sembari tersenyum sendiri membayangkan betapa kerennya panggilan itu.

“Ajak sekalian istri dan anakmu pergi haji,” ujar Kyai Jamil lagi.  Mendengar bahwa anak dan istrinya juga akan mendampinginya haji, Kang Mat terasa melayang ke langit shaff 7.