Scroll untuk baca artikel
Terkini

Defisit Melejit, UU HPP Terbit: Membuat Peraturan Bukanlah Prestasi

Redaksi
×

Defisit Melejit, UU HPP Terbit: Membuat Peraturan Bukanlah Prestasi

Sebarkan artikel ini

BARISAN.CO – Kepala Data Analyst Continuum Data Indonesia Natasha Julian mengatakan analisis Bid Data dari media sosial di Indonesia terkait disahkannya UU Harmonisai Peraturan Perpajakan (UU HPP) dapat direkam dari 8.523 pembicaraan di medsos sejak tanggal 04/10/2021 sampai dengan 21/10/2021 yang berasal dari seluruh Indonesia (34 propinsi).

“Dengan jangka waktu pengambilan sampel data yang singkat tersebut mayoritas perbincangan di medsos menyambut positif (62,9%) berbagai macam perubahan pada UU HPP, ketimbang yang merespon negative (37,1%),” sambungnya dalam diskusi publin INDEF dan Continuum dengan tema Analasis Big Data: Defisit Melejit, UU HPP Terbit, Jumat (29/10/2021)

Menurut Natasha, topik yang paling sering diperbincangkan ihwal UU HPP adalah: PPH Bebas untuk Masyarkat berpenghasilan rendah (1,377 responden), NIK jadi NPWP (851), Tax Amnesty (697), PPN: Jasa kesehatan dan Pendidikan Bebas Pajak (541), Pajak Karbon (277)

“97% Perbincangan di Medsos Menolak adanya Tax Amnesty, dan 89% Masyarakat menyambut positif Pengenaan tarif PPh yang berkeadilan. 90% Masyarakat media sosial mendukung penerapan pajak karbon, dan 86% Menyambut perubahan aturan PPN: Layanan kesehatan dan Pendidikan Bebas Pajak,” tuturnya.

Ekonom Senior INDEF Didik J Rachbini menyampaikan permasalahan Utama Ekonomi domestik saat ini bukan pada utak atik Peraturan, tapi pada terus menurunnya Penerimaan Pajak sehingga tax rasio terhadap PDB berada pada posisi di bawah 10%.

“Membuat atau mengutak atik peraturan bukanlah prestasi, tetapi yang harus dipikirkan adalah bagaimana membenahi sektor fiskal. Terus menurunnya tax ratio tentu saja tidak bisa disembuhkan dengan harmonisasi UU HPP,” lanjutnya.

Didik mengatakan menurunkan Pajak Badan ke angka 22% bukanlah solusi. Singapura pajak badan 17 persen memang sengaja untuk dijadikan pusat perusahaan yang bekerja di ASEAN.

“Cara Singapura harus dilawan dengan cara-cara non pajak antara lain dengan pengetatan peraturan agar usaha global semisal Google Asia Pasifik yang mempunyai kantor pusat di Singapura tidak membayar sebagian besar pajak pendapatannya di kantor pusat Singapura yang hanya maksimal 17%,” jelasnya.

Peraturan penanaman modal, perusahaan yang investasi di Indonesia, menggunakan sumberdaya Indonesai, lahan Indonesia dll harus berbadan usaha Indonesia.

Didik menambahkan membengkaknya nilai utang pemerintah sebesar Rp6711,52 triliun per September 2021 akan mengakibatkan struktur APBN defisit yang semakin besar dan keseimbangan primer menjadi amat terganggu yang selama ini tidak dihiraukan.

“Besar total utang negara jika digabung total utang pemerintah, utang BUMN,  bisa menyentuh angka belasan ribu triliun rupiah setelah pemerintahan ini selesai.  Ini belum termasuk utang luar negeri swasta, yang semakin besar dan memperlemah nilai tukar dan sektor luar negeri Indonesia,” terangnya.

Sementara itu, Wakil Direktur INDEF Eko Listiyanto mengatakan rencana tax amnesty mendatang harus disikapi dengan kehati-hatian karena terlalu banyak pengampunan pajak yang diberikan berisiko besar terhadap reputasi kinerja penerimaan pajak negara.

“Tax ratio terhadap PDB saat ini sedang berada pada titik terendah (8,3%). Sementara data kinerja tax amnesty I saja masih belum maksimal. Dari Rp 4000 triliun lebih yang dideklarasi pada tax amnesty 1, yang diterima hanya Rp114 triliun saja,” terangnya.

Lonjakan utang pemerintah (2019 ke 2020) yang sudah melebihi 40% terhadap PDB sudah terhitung sangat besar meskipun penambahan utang pada 2020 ke 2021 dikatakan untuk pemulihan ekonomi.