Scroll untuk baca artikel
Blog

Mengenal Sosok Raja Tombolotutu, Satu Diantara Empat Tokoh yang Akan Dapat Gelar Pahlawan Nasional

Redaksi
×

Mengenal Sosok Raja Tombolotutu, Satu Diantara Empat Tokoh yang Akan Dapat Gelar Pahlawan Nasional

Sebarkan artikel ini

BARISAN.CO – Pemerintah akan memberikan gelar pahlawan nasional kepada empat tokoh dari beberapa daerah di Tanah Air. Empat tokoh pahlawan tersebut yakni, Tombolatutu (Sulawesi Tengah), Sultan Aji Muhammad Idris (Kalimantan Timur), Sutradara Film Aji Usmar Ismail (DKI Jakarta), dan Raden Ayra Wangsakara (Banten).

Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD, menyebut, gelar pahlawan itu akan diberikan Presiden Joko Widodo pada 10 November 2021, bertepatan dengan Hari Pahlawan di Istana Bogor.

“Nah itu pahlawan nasional yang nanti akan diserahkan secara resmi kepada keluarga para almarhum di Istana Bogor. Kalau tidak berubah, persis pada hari Pahlawan 10 November 2021,” kata Mahfud melalui keterangan pers secara virtual, Kamis (28/10/2021).

Mahfud menjelaskan, keputusan gelar pahlawan kepada empat tokoh itu karena menginspirasi untuk membangun Indonesia yang merdeka dan berdaulat, serta ikut berjuang untuk memajukan Indonesia. Sehingga, kemerdekaan itu lebih bermakna bagi bangsa dan negara.

Berikut riwayat singkat empat tokoh pahlawan tersebut:

Raja Tombolotutu

Tombolotutu merupakan keturunan dari raja Massu yang merupakan raja Moutong ke ketiga yang kemudian meneruskan tahta ayahnya sebagai raja moutong ke 4 dalam usia yang sangat muda yakni pada usia 20 tahun. Tombolotutu dikenal sangat humanis dan dekat dengan rakyat yang dipimpinnya.

Pada tahun 1898-1904 raja Tombolotutu harus menghadapi keinginan kolonialis Belanda untuk memonopoli perdagangan di teluk Tomini. Berawal dari kedatangan Belanda di pelabuhan Moutong yang hadir dengan cita-cita memonopoli perdagangan serta hasrat menguasai wilayah kerajaan Moutong.

Tentu saja ini sangat di tentang oleh raja Tombolotutu yang dapat di lihat dari sikap penolakannya terhadap dua perjanjian yang di tawarkan belanda (long kontrak dan korte verklaring). Tombolotutu tidak memberikan satu jengkal tanah dan satu gram tambang emas yang ada di Sulawesi Tengah untuk penjajah Belanda demi untuk masyarakatnya.

Sikapnya ini memicu kemarahan Belanda sehingga Belanda mengambil langkah mengisolasi daerah kerajaan Moutong dengan cara menenggelamkan kapal-kapal yang berlabuh di pelabuhan Moutong.

Penenggelaman kapal ini membuat seluruh hasil produksi perkebunan rakyat tidak terjual kecuali harus menjual kepihak Belanda dengan harga yang di tentukan oleh pihak belanda. Hal ini membuat raja dan rakyatnya marah besar dan akumulasi kebencian ini menjadi alasan Tombolotuto memimpin rakyat untuk melawan kolonial Belanda.

Perang melawan Belanda dimulai di istana raja di daerah Lobu pada bulan Oktober 1898 dalam waktu 11 hari. Karena minimnya persenjataan maka raja Tombolotutu harus menyingkir ke sebuah pulau yang bernama Walea Bahe dan memulai perang gerilyanya.

Dikutip dari situs Pemkab Parigi Moutong, untuk menghadapi perlawanan Tombolotutu, Belanda sampai harus mengerahkan Marsose.

Marsose merupakan pasukan khusus atau pasukan elite Belanda yang pernah diturunkan saat Perang Diponegoro dan Perang Aceh. Kala itu, pasukan Marsose yang diturunkan untuk menumpas perlawanan Tombolotutu kurang lebih berjumlah 170 pasukan. Kisah perjuangan Tombolotutu juga banyak diulas dalam buku Bara Perlawanan di Teluk Tomini.

Perlawanan yang gigih dari Tombolotutu merupakan sebuah fakta bahwa kehadiran kolonial Belanda di wilayah jazirah timur leher Sulawesi tak diterima oleh rakyat wilayah kerajaan Moutong yang dipimpin oleh Tombolotutu. [rif]

Bersambung…