Scroll untuk baca artikel
Kolom

Deforestrasi Masif dan Regulasi yang Permisif

Redaksi
×

Deforestrasi Masif dan Regulasi yang Permisif

Sebarkan artikel ini
Deforestrasi Masif dan Regulasi yang Permisif
Asri Tadda (Ketua DPW Gerakan Rakyat Sulawesi Selatan/Direktur The Sawerigading Institute)

Ketika regulasi makin longgar dan hutang ekologis terus menumpuk, deforestasi berubah menjadi jalan cepat menuju bencana.

Oleh: Asri Tadda
(Ketua DPW Gerakan Rakyat Sulawesi Selatan/Direktur The Sawerigading Institute)

SELAMA tiga dekade terakhir, pembukaan kawasan hutan untuk kepentingan pembangunan (termasuk bisnis) tak bisa dielakkan. Parahnya, regulasi dari masa ke masa menjadi lebih permisif dan tak lagi konsisten menjaga eksistensi luasan hutan yang ada.

‎Pada tahap awal penerapan Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH), kompensasi atas penggunaan kawasan hutan bersifat fisik. Pemegang izin wajib menyediakan lahan pengganti, umumnya dua kali lebih luas dari lahan yang dibuka.

‎Mekanisme ini mungkin tidak sempurna, tetapi ia memiliki satu prinsip penting bahwa hilangnya hutan harus ditebus dengan kewajiban hutanisasi yang lebih luas. Artinya, beban membuka hutan tidak murah dan tidak ringan.

‎Namun regulasi berikutnya mengubah paradigma itu. Penyediaan lahan kompensasi tidak lagi menjadi satu-satunya pilihan.

‎Yang saya tahu, sejak Permenhut P. 43/2008, Pemerintah mulai memberikan alternatif berupa pembayaran PNBP yang dianggap sebagai ganti rugi finansial untuk lahan hutan yang hilang.

‎Selain itu, penilaian kompensasi mulai mempertimbangkan luasan hutan di tingkat provinsi, seakan-akan hutan adalah entitas homogen yang bisa dihitung secara agregat tanpa membedakan fungsi atau kualitasnya.

‎Pergeseran ini mengakibatkan perubahan besar dalam struktur insentif. Menyediakan lahan fisik memerlukan biaya tinggi, waktu panjang, dan risiko sosial, sedangkan membayar PNBP jauh lebih sederhana.

‎Regulasi ini membuat pembukaan hutan menjadi keputusan bisnis yang lebih mudah diambil. Ketika biaya ekologis tidak lagi terasa sebagai biaya ekonomi, pilihan untuk mengonversi kawasan hutan menjadi semakin rasional secara finansial—meskipun irasional secara ekologis.

‎Ilusi Kuota Provinsi dan Kesalahan Membaca Lanskap Ekologis

‎Salah satu persoalan paling fundamental dalam kebijakan baru adalah penggunaan data tutupan hutan provinsi sebagai indikator “ketersediaan” hutan.

Dengan pendekatan ini, selama suatu provinsi masih memiliki tutupan hutan yang tampak “cukup”, maka pembukaan kawasan hutan di titik tertentu dapat dianggap layak, dan tidak perlu menggantinya dengan penyediaan lahan untuk hutanisasi baru.

‎Masalahnya, data agregat luasan hutan tidak menggambarkan nilai ekosistem di tingkat tapak. Hutan primer, hutan rawa gambut, hutan pegunungan, dan hutan produksi adalah ekosistem yang sama sekali berbeda. Mereka memiliki umur biologis, stok karbon, keanekaragaman hayati, serta fungsi hidrologi yang tidak dapat dipertukarkan.

‎Mengganti hilangnya hutan primer di satu lokasi dengan asumsi bahwa provinsi masih punya hutan sekunder di tempat lain adalah kekeliruan ekologis yang berbahaya.

‎Logika kuota provinsi juga menciptakan ruang abu-abu dalam tata kelola kehutanan. Provinsi dengan angka tutupan hutan yang besar terlihat seolah memiliki “ruang izin” untuk pembukaan hutan, sekalipun yang hilang adalah kawasan bernilai konservasi tinggi. Pada titik ini, kebijakan tidak hanya longgar, tetapi sebenarnya sudah salah arah.

‎Kompensasi Administratif, Bukan Ekologis

‎Kelemahan mendasar dari opsi kompensasi PNBP adalah ketiadaan hubungan langsung antara pembayaran dan pemulihan fungsi ekosistem.

‎Uang memang masuk ke kas negara, tetapi tidak otomatis kembali ke hutan yang hilang. Sejumlah studi menunjukkan bahwa mekanisme PNBP di sektor kehutanan kerap menghadapi masalah transparansi, efisiensi penggunaan, dan lemahnya korelasi antara besarnya dana dan kualitas restorasi.

‎Dalam banyak kasus, kompensasi PNBP berubah menjadi sekadar kewajiban administratif. Restorasi yang dilakukan pun sering bersifat simbolis, seperti penanaman pohon yang tidak memperhitungkan kesesuaian lahan, keanekaragaman jenis tanaman, hingga survival rate jangka panjang.

‎Dengan demikian, apa yang hilang adalah ekosistem lengkap; yang kembali, hanya sederet angka tanam-tumbuh dalam laporan program.

‎Risiko Bencana

‎Kelemahan regulasi kompensasi tidak berdiri sendiri. Ia terhubung langsung dengan meningkatnya risiko bencana hidrometeorologi yang kini semakin sering terjadi.

‎Hilangnya tutupan hutan di daerah hulu memperbesar limpasan air, mempercepat erosi, dan meningkatkan potensi banjir bandang.