Ketua DPP Partai Gerindra itu berharap seiring dengan kenaikan harga BBM non subsidi idealnya segera dilakukan kebijakan pembatasan untuk mengantisipasi migrasi pengguna BBM non subsidi ke BBM bersubsidi. Sayangnya, pembatasan tersebut tidak segera dilakukan sehingga terjadi migrasi secara besar-besaran.
“Jika sejak awal sudah diterapkan kebijakan pembatasan BBM bersubsidi, kuota BBM bersubsidi tidak akan menipis seperti sekarang. Perlu diketahui, subsidi BBM jenis Pertalite 80% dinikmati oleh orang mampu, dan dari jumlah tersebut 60% dinikmati oleh orang sangat kaya. Sementara BBM jenis solar, rumah tangga miskin yang menikmati hanya 5%. Sedangkan 95% dinikmati oleh rumah tangga mampu,” tegasnya.
Ketua Poksi Fraksi Partai Gerindra di Badan Legislasi DPR-RI itu mengapresiasi Presiden Joko Widodo yang tidak segera mengumumkan kenaikan BBM bersubsidi meskipun sejumlah menteri sudah mendorognya dan bahkan sudah mengungkapkannya di hadapan publik. Hal itu menunjukkan presiden sedang menghitung secara cermat dampak buruk dari kebijakan kenaikan harga BBM.
“Dampak buruk tersebut antara lain akan melemahkan daya beli masyarakat yang ada akhirnya bisa mengurangi kapasitas produksi manufaktur. Pelaku usaha terutama UMKM yang sedang pulih bisa ambruk kembali. Akibatnya, PHK bisa melonjak kembali. Demikian juga angka pengangguran dan kemiskinan bisa bertambah lagi,” tegasnya.
Politisi dari Dapil Jawa Barat IV (Kota dan Kabupaten Sukabumi) lalu menyampaikan beberapa solusi. Pertama, pemerintah perlu melakukan kebijakan pembatasan BBM bersubsidi. Hanya orang-orang tidak mampu yang berhak mengonsumsi BBM bersubsidi. Sementara, orang-orang kaya memiliki kemampuan untuk membeli BBM non subsidi. Hal tersebut dapat dilihat dari nilai tabungan orang kaya yang selama Pandemi Covid-19 melonjak tajam.
“Merujuk data Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), tiering nominal simpanan jumbo di atas Rp5 miliar tumbuh 14,2% (yoy) dan selama tiga tahun ini tumbuh 43,2%. Lalu tiering nominal Rp2miliar-Rp5 miliar tumbuh 3,7% (yoy). Untuk tiering nominal Rp1-2 miliar tumbuh 3,4% (yoy). Dan, tiering nominal Rp500 juta hingga Rp1 miliar tumbuh 3,9% (yoy),” jelasnya.
Hergun melanjutkan solusi kedua yaitu pemerintah perlu menghitung ulang harga keekonomian BBM bersubsidi secara tepat. Saat ini antar menteri berbeda dalam menyampaikan harga keekonomian BBM bersubsidi. Perbedaan ini bisa menimbulkan kebingunan publik dan berpotensi menimbulkan kesalahan dalam memberikan kompensasi kepada Pertamina.
“Dan ketiga, pemerintah perlu memperkuat program perlindungan sosial dan dukungan untuk pelaku UMKM. Hal tersebut untuk mengurangi angka kemiskinan yang masih cukup besar yakni mencapai 9,54% per Maret 2022. Angka tersebut masih lebih besar dibanding sebelum Pandemi yang mencapai 9,22% per September 2019,” ujarnya.