Financial Times bahkan menggambarkan kondisi ekonomi Indonesia bukan sedang tumbuh, melainkan “sekadar bertahan.”
Salah satu persoalan utama adalah melemahnya kelas menengah. Kelas menengah yang selama ini menjadi motor konsumsi justru menyusut signifikan.
Menurut Reuters, proporsi kelas menengah Indonesia turun dari 21,5% populasi pada 2019 menjadi hanya 17,1% pada 2024.
Dampaknya terasa langsung: daya beli menurun, konsumsi rumah tangga melemah, dan roda ekonomi domestik kehilangan penopangnya.
Jika kelas menengah terus tergerus, maka target pertumbuhan jangka menengah akan semakin sulit dicapai.
Di sisi lain, investasi asing langsung (FDI) juga mengalami kontraksi. Ketidakpastian regulasi, praktik birokrasi yang rumit, serta kasus korupsi yang merajalela membuat investor ragu.
Transparency International mencatat skor Indonesia dalam Indeks Persepsi Korupsi 2024 hanya 37 dari 100, menempatkan Indonesia di posisi ke-99 dari 180 negara.
Korupsi dalam birokrasi perizinan hingga pengelolaan sumber daya alam menjadi hambatan serius bagi pertumbuhan.
Lebih ironis lagi, sektor pangan yang seharusnya menjadi kekuatan justru kerap menunjukkan kerentanan. Indonesia adalah produsen kelapa sawit terbesar di dunia, tetapi sempat mengalami kelangkaan minyak goreng.
Subsidi besar pun tidak selalu membuat harga pangan terjangkau. Hal ini menunjukkan bahwa struktur ekonomi Indonesia belum berdiri di atas sistem yang adil dan efisien, melainkan masih dikuasai segelintir aktor dengan kepentingan oligarkis.
Lingkaran Demokrasi dan Ekonomi
Kemerosotan demokrasi dan lemahnya ekonomi saling menguatkan dalam lingkaran yang buruk. Demokrasi yang melemah membuat pengawasan terhadap kebijakan ekonomi tidak optimal.
Parlemen dan lembaga yudikatif yang kurang independen gagal membendung korupsi dan penyalahgunaan anggaran.
Sebaliknya, lemahnya struktur ekonomi memperparah kemunduran demokrasi: ketimpangan ekonomi membuat suara rakyat miskin mudah dimanipulasi dalam politik uang, sementara oligarki ekonomi semakin mengokohkan cengkeramannya terhadap proses politik.
Lingkaran ini menciptakan situasi di mana rakyat sulit percaya bahwa demokrasi membawa manfaat nyata. Demokrasi tanpa kesejahteraan dianggap hampa, sementara pertumbuhan ekonomi tanpa demokrasi yang sehat hanya menguntungkan segelintir elite.
Jalan Refleksi
Delapan dekade merdeka seharusnya menjadi momentum bagi bangsa ini untuk jujur melihat realitas. Demokrasi bukan sekadar prosedur pemilu lima tahunan, tetapi harus menjamin keadilan, kebebasan, dan transparansi. Tanpa itu, demokrasi hanya akan menjadi kulit kosong.