BARISAN.CO – Media sosial saat ini cenderung dipenuhi dengan postingan orang-orang yang memamerkan harta kekayaan. Jenis citra ini sering dikaitkan dengan reaksi negatif terutama di saat hampir di seluruh dunia, banyak orang saat ini yang tidak memiliki kecukupan uang untuk bertahan hidup.
Menurut data Urban Institute, antara tahun 1963 dan 2016 keluarga di 10 persentil terbawah kekayaannya rata-rata berubah dari tidak memiliki apa-apa menjadi berutang US$1.000. Sedangkan keluarga golongan 1 persen teratas justru kekayaannya naik tujuh kali lipat. Bahkan, berkali-kali, OXFAM menyebut selama pandemi, ketimpangan cenderung meningkat tajam.
Sedangkan, sebuah studi yang diterbitkan Sage Journals tahun 2018 menemukan, sekitar 66 persen peserta berpikir dengan memamerkan status kekayaan itu akan membuat menarik lebih banyak calon teman. Sayangnya, justru pikiran tersebut keliru karena teman-teman potensialnya lebih memilih berteman dengan orang biasa.
Mengutip CNET, partner di manajemen reputasi Transmission Private di Inggris, Luke Thompson mengatakan, orang-orang yang memiliki kekayaan bernilai 100 juta pound ingin privasinya dihormati dan tidak ingin mempromosikan diri. Luke menambahkan orang-orang kaya malahan biasanya individu tertutup yang ingin berada di luar sorotan media.
Di Indonesia, kita bisa lihat contoh beberapa konglomerat bahkan hidup dalam kesederhanaan. Misalnya, bos Djarum, Michael Bambang Haryono yang sempat viral karena asik makan tahu pong di warung Tahu Pong Karangsaru, Semarang. Tanpa pengawalan dan juga mengenakan pakaian kasual.
Meritokrasi di Media Sosial
Kebijaksanaan amat dibutuhkan dalam berseluncur di media sosial hal ini terkait orang bisa mendapatkan masalah ketika hal yang dipamerkan tersebut justru dapat menyesatkan masyarakat. Seperti yang belum lama ini terjadi oleh Indra Kenz.
Dia memamerkan kekayaan terus-menerus sambil mempromosikan produk trading Binomo yang pada akhirnya memakan korban. Sebagai influencer sebenarnya, Indra memiliki kewajiban moral dalam mempromosikan sebuah produk atau merek yang ia iklankan. Sebab, itu akan memengaruhi pengikutnya di media sosial.
Tentu, kita bisa saja terperangah melihat harta kekayaan yang dipamerkan tersebut. Terlebih, ketika mendengar sebelumnya, Indra pernah hidup susah, bekerja serabutan, serta pernah tertipu. Melihat kehidupan yang dia pamerkan di media sosial membuat banyak orang takjub dan ingin menirunya.
Direktur CELIOS (Center of Economic and Law Studies, Bhima Yudhistira mengatakan, di era media sosial, meritokrasi bisa tertutup dengan pencitraan orang kaya instan yang justru bisa menjadi parasit di masyarakat.
“Karena belum tentu juga mobilnya, mobil dia, tapi bisa jadi mobil Ferrari-nya, mobil Ferrari sewaan. Sementara, mereka yang memang ekspert di bidangnya, kemudian memang merintis secara step-by-step itu tidak kelihatan karena tertutup dengan pencitraan-pencitraan yang sebenarnya menyesatkan,” kata Bhima kepada Barisanco, Selasa (8/3/2022).
Meritokrasi memang sering kali menjadi masalah. Terkadang orang miskin yang menjadi sukses dan kaya dianggap menginspirasi. Padahal, media sosial bisa saja menipu.
Bhima mengingatkan pentingnya mengedukasi masyarakat apabila ingin berinvestasi harus menyerahkan pada ahlinya dari lembaga formal, bukan yang abal-abal.
“Bukan ke influencer yang instan pamer kekayaan. Sekarang, kalau mereka investor, harusnya yang dipamerkan bukan kekayaannya , tapi cara dan mereka memperoleh kekayaan itu,” tambahnya.
Bhima memperkirakan ini menjadi pertanda matinya masyarakat dari meritokrasi di era media sosial. Sehingga, dia menyarankan agar masyarakat lebih banyak mengedukasi diri sendiri dengan melakukan riset agar tidak mudah terpengaruh.