Dampak kenaikan BBM bersubsidi hingga 30% akan membuat garis kemiskinan naik dan bertambahnya orang miskin baru.Bhima Yudhistira
BARISAN.CO – Sejak kenaikan Bahan Bakar Minyak (BBM), banyak masyarakat yang beralih dari Pertamax menggunakan Pertalite. Sehingga antrian Pertalite tidak dapat terhindarkan.
Melihat fenomena ini, Direktur Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira mengatakan, jauh sebelum BBM naik, masyarakat kelas menengah rentan sudah tidak mampu membeli Pertamax.
“Bisa dilihat di SPBU yang antri Pertalite membludak. Sekarang ketika Pertalite menjadi Rp10.000 per liter, maka tidak ada pilihan lain tetap membelinya,” katanya kepada Barisanco pada Minggu (18/9/2022).
Menurutnya, konsekuensinya akan ada pengurangan pembelian bahan kebutuhan lain karena BBM masuk jenis subsidi inelastis.
“Harganya naik, pasti dibeli. Beda dengan Pertamax yang harganya cukup jauh selisihnya, naik dari Rp9.000 ke Rp14.500, orang akan cari bensin yang lebih terjangkau,” lanjut Bhima.
Di sisi lain, RON Pertamax lebih baik dari Pertalite, sedangkan Indonesia memiliki target zero emission pada tahun 2060. Dengan semakin banyaknya masyarakat yang beralih menggunakan Pertalite, target ini cenderung sulit dicapai.
Menanggapi hal itu, Bhima menyampaikan, kecenderungan masyarakat menggunakan RON rendah karena tidak adanya alternatif dari pemerintah.
“Apa transportasi kita disubsidi besar-besaran saat harga BBM naik? Apa pemerintah memberikan insentif konversi motor yang pakai BBM ke motor listrik? Kan tidak,” jelasnya.
Kenaikan harga ini juga berdampak bagi ojek online (ojol), yang kebanyakan menjadikan pekerjaan ini sebagai pekerjaan utama.
Salah satu ojol, Fahrul misalnya, dia menyebut, perusahaan masih memotong 20 persen dari tarif baru yang diberlakukan.
“Tadi penumpang kena tarif Rp17.500, saya hanya dapat Rp12.000,” ungkapnya.
Padahal, Kementerian Perhubungan (Kemenhub) secara resmi telah menurunkan biaya bagi hasil aplikator, baik Gojek, Grab, dan Maxim. Namun, kenyataannya, Gojek masih belum melakukannya.
Bhima berpendapat, soal fee aplikator harus diatur ulang karena ribut-ribut kenaikan tarif ojol yang tidak dinikmati mereka
“Justru yang ditekan driver ojol yang memiliki daya tawar cukup lemah. Idealnya, pemerintah melakukan intervensi, misalnya tarif ojol tidak naik, tapi pemerintah memberi kompensasi ke driver, dengan catatan terjadi sharing the pain dengan pihak aplikator,” lanjutnya.
Dia menjelaskan, dengan skema sharing the pain ini, ojol dapat tetap bertahan dan konsumen juga terbantu.
Bhima menyimpulkan, kenaikan BBM akan mendorong banyak orang ke jurang kemiskinan.
“Pertalite akan terus dibeli masyarakat. Dampaknya ketika BBM bersubsidi naik 30%, maka garis kemiskinan juga akan naik dan akibatnya bertambah orang miskin baru,” pungkasnya. [rif]