Sayangnya, kondisi anggaran negara pada era pemerintahan SBY kedua dilihat dari nominal defisit tidak sebaik sebelumnya. Terutama pada tiga tahun terakhir (2012-2014) yang mencatatkan defisit cukup lebar.
Pendapatan sebenarnya masih tumbuh cukup pesat, di kisaran 13% tiap tahun. Sedikit lebih rendah dibanding periode pertama yang rata-rata tumbuh di kisaran 17,5% per tahun. Akan tetapi laju kenaikan belanja negara tercatat lebih pesat, mencapai rata-rata 14% per tahun.
Laju kenaikan belanja yang pesat itu antara lain disebabkan oleh kebijakan memberi subsidi dan bantuan sosial yang cukup banyak. Pengeluaran demikian bepengaruh sangat besar pada nilai belanja negara. Terutama berupa subsidi BBM. Padahal tingkat konsumsi masyarakat dan industri terus meningkat.
Selain itu, pemerintah melakukan pengeluaran pembiayaan yang juga melonjak. Baik untuk melunasi utang pokok yang telah jatuh tempo, maupun pengeluaran investasi. Berkaitan dengan investasi, sebenarnya beberapa proyek infrastruktur besar telah dimulai pada era ini.
Bagaimanapun, kenaikan posisi utang pada era pemerintahan SBY kedua tercatat lebih pesat dari era pertama. Dilihat dalam nilai rupiah, naik sebesar 64% menjadi Rp2.609 triliun pada akhir 2014. Jika dilihat dalam nilai dolar hanya meningkat sebesar 24% menjadi US$210 miliar.
Dengan demikian, posisi utang tercatat bertambah, baik pada pemerintahan SBY pertama maupun yang kedua. Akan tetapi, hal itu diimbangi oleh laju pertumbuhan nilai nominal PDB. Akibatnya, rasio utang pemerintah atas PDB cenderung menurun. Pada periode pertama, turun dari 56,60% menjadi 28,37%. Masih dapat diturunkan lagi menjadi 24,68% pada akhir 2014.
Jika dibandingkan dengan laju kenaikan pendapatan negara, maka pada periode pertama SBY, laju kenaikan utang juga tercatat lebih lambat. Akibatnya, rasio utang dengan pendapatan turun sangat signifikan. Dari 322,16% (akhir 2014) menjadi 187,41% (akhir 2009).
Pada era kedua, laju kenaikan pendapatan negara hanya sedikit lebih tinggi dari kenaikan posisi utang. Rasio masih bisa sedikit diturunkan, hingga hanya 147,80% pada akhir 2012. Namun kembali meningkat hingga mencapai 168,26%pada akhir tahun 2014. Bagaimanapun, masih tercatat lebih rendah dibanding awal periode kedua.
Berdasar kedua rasio tadi, pendukung SBY bisa saja mengklaim bahwa utang pemerintah bersifat produktif. Laju kenaikan PDB dan pendapatan negara ternyata lebih pesat dari kenaikan utang.
Bagi pembelajar ekonomi yang independen mungkin akan mengajukan kritik bahwa era tersebut harusnya bisa mengambil kebijakan berutang yang lebih baik. Ada kesempatan luas untuk menekan tambahan utang, namun belanja masih tampak “boros” atau tidak efisien dan efektif. Diantara kritik utama adalah atas belanja subsidi dan program penanggulangan kemiskinan yang hasilnya pun tak sepadan dengan biaya yang dikeluarkan.