BARISAN.CO – Berkembangnya anggapan bahwa sumber daya manusia (SDM) Indonesia kurang mampu berkompetisi secara global, bagi Edy Darmoyo, adalah pendapat sumir yang sulit dipercaya.
Pasalnya, banyak bukti ia temukan sebaliknya. “Manusia kita punya kemampuan mencapai apa yang ia anggap bernilai dalam hidupnya, dan mereka hebat di bidangnya masing-masing,” kata Edy Darmoyo kepada Barisanco, Selasa (8/12/2021).
Edy Darmoyo adalah master trainer yang mengantongi brevet Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP). Ia sudah melatih banyak SDM Indonesia, mulai kalangan industri level buruh sampai manajer; kalangan pendidikan dari guru sampai siswa; kalangan ASN; hingga kalangan umum.
Lebih dari dua dekade Edy Darmoyo menjadi trainer. Menurut apa yang bisa ia simpulkan selama pengalamannya, SDM Indonesia memiliki semua aspek yang dibutuhkan untuk bersaing dengan SDM negara lain.
“SDM kita punya aspek dasar yang cukup seperti kedisiplinan dan kapabilitas. Ada pula aspek karakter seperti memiliki empati, kepemimpinan, serta kemampuan menghormati kemajemukan. Apa artinya? SDM Indonesia punya semua bekal yang dibutuhkan untuk menjadi unggul,” kata Edy Darmoyo.
Namun menurutnya, masih ada benang kusut yang membuat aspek-aspek SDM unggul itu tidak terakselerasi dengan baik. Salah satunya adalah tentang kesempatan.
Lulusan Fakultas Ilmu Sosial Politik Universitas Diponegoro tahun 1995 ini menjelaskan, sempitnya kesempatan adalah faktor terbesar yang membuat SDM Indonesia sulit membuktikan diri.
“Para pengambil keputusan sering kali justru memberi kesempatan lebih besar kepada tenaga kerja asing. Mereka lebih nyaman untuk, misalnya, mengambil langkah praktis dengan mempekerjakan tenaga Singapura daripada percaya pada SDM negeri sendiri,” kata Edy Darmoyo.
Di satu sisi, lanjut dia, kebijakan yang diambil para pengambil keputusan memang bisa terasa benar. Mengacu pada statistik Asian Productivity Organization yang diterbitkan APO Productivity Databook 2020, produktivitas per pekerja Indonesia memang di bawah Singapura atau bahkan Malaysia.
Produktivitas per pekerja Indonesia berkisar US$23.900 atau seperlima dari produktivitas per pekerja Singapura yakni US$149.100. Produktivitas per pekerja Malaysia pun US$55.400, dua kali lipat produktivitas per pekerja Indonesia.
Akan tetapi, jika perbandingan tersebut terus-terusan dipakai sebagai legitimasi mempekerjakan tenaga asing, Edy Darmoyo menduga SDM Indonesia bisa semakin tenggelam di negeri sendiri dan gagal bersaing secara global.
“Maka membuka kesempatan seluas-luasnya adalah kunci dari masalah ini. Kita jangan hanya terpaku melihat angka-angka yang mengindikasi SDM kita tertinggal, tetapi harus juga cermat menilai bahwa angka-angka tersebut tidak datang begitu saja. Angka itu terjadi sebab keputusan politik tidak memihak pada SDM kita,” kata Edy Darmoyo.
Jika kesempatan diberikan, Edy yakin SDM Indonesia bisa bersaing. Kepercayaan kuatnya ini berkaca hasil observasi yang ia lakukan sepanjang karier profesionalnya.
Edy Darmoyo, misalnya, sejak lama telah mengembangkan sebuah lembaga Talent Potential Center. Lembaga ini adalah pusat pemetaan bakat dan potensi yang ia dirikan di Semarang.
Di lembaga ini, Edy bersama timnya membuka konsultasi serta program-program pengembangan diri. Ia menemukan adanya bakat yang amat beragam yang membuat dirinya optimis pada masa depan SDM Indonesia.
“Kami misalnya membuat program Leadership for Kids, yang fokus pada pengembangan kepemimpinan anak. Dengan alat tes potensi yang kami kembangkan, di program ini kami menemukan banyak anak sangat matang mengelola psikologi kelompok. Ini membuat kami yakin potensi mereka bisa sangat bermanfaat bagi bangsa ke depan,” kata Edy Darmoyo.