Tom Lembong menilai kondisi ekonomi Indonesia memprihatinkan dengan daya beli melemah dan ketimpangan semakin lebar.
BARISAN.CO – Mantan Menteri Perdagangan Thomas Trikasih Lembong atau Tom Lembong menilai kondisi ekonomi Indonesia saat ini tidak sebaik yang kerap digambarkan pemerintah. Hal itu ia sampaikan dalam perbincangan bersama ekonom Awalil Rizky di kanal YouTubenya bertajuk Ngobrol Ekonomi, Selasa (30/09/2025).
Menurut Tom, pemerintah dan otoritas ekonomi sering mengklaim pertumbuhan ekonomi masih stabil di kisaran 5 persen, inflasi terkendali, serta tingkat pengangguran menurun. Namun, ia menilai indikator-indikator lain justru menunjukkan kondisi yang memprihatinkan.
“Kalau melihat data penjualan sepeda motor dan mobil, tren sepuluh tahun terakhir menunjukkan penurunan. Konsumsi listrik nasional juga hanya tumbuh sekitar 3–4 persen per tahun. Itu tidak konsisten dengan klaim pertumbuhan ekonomi 5 persen,” kata Tom.
Tom juga menyoroti cara pengukuran pengangguran di Indonesia yang terlalu longgar. Badan Pusat Statistik (BPS) menetapkan seseorang dianggap bekerja jika memiliki aktivitas berbayar minimal satu jam dalam seminggu. Padahal, standar International Labor Organization (ILO) adalah empat jam.
“Kalau standar yang dipakai sangat rendah, seolah-olah angka pengangguran menurun. Padahal yang terjadi lebih banyak adalah underemployment atau setengah menganggur. Orang bekerja, tapi jamnya minim, upahnya kecil, dan tidak layak,” tegasnya.
Kondisi itu, lanjut Tom, berdampak langsung pada merosotnya daya beli masyarakat.
“Daya beli masyarakat menurun bukan hanya setahun terakhir, tapi sudah 2–3 tahun. Lemahnya lapangan kerja membuat daya tawar pekerja rendah. Akhirnya banyak orang bekerja dengan gaji kecil dan tidak punya pilihan lain,” jelasnya.
Selain daya beli yang menurun, Tom menekankan soal ketimpangan ekonomi. Strategi pembangunan yang berorientasi pada proyek padat modal, seperti smelter dan petrokimia, menurutnya hanya memberi keuntungan besar pada pemodal, tetapi menyerap tenaga kerja sangat sedikit.
“Proyek besar bernilai puluhan triliun rupiah bisa saja menambah PDB, tapi jumlah pekerjanya ratusan saja. Akibatnya yang menikmati hasil hanya segelintir pemodal. Dampaknya, ketimpangan makin lebar,” ujarnya.
Ia menambahkan, data rekening bank juga menunjukkan gejala serupa. Saldo rekening masyarakat kecil terus menurun, sementara kelompok ultra kaya, terutama 1 persen teratas, justru semakin menumpuk kekayaan.
“Konsumsi nasional kita banyak ditopang oleh 1 persen orang kaya. Tapi efek penggandanya kecil, berbeda dengan konsumsi kelas menengah yang justru membuat uang lebih berputar,” kata Tom.