ELITE parpol dan rakyat tampaknya telah menjadi dua kutub. Meski isu seteru dua institusi partai makin seru jelang pemilu, dan aroma konflik makin menyengat tercium rakyat. Hingga Jokowi ikut bicara: yang menentukan capres memang parpol, tapi yang memilih kan rakyat.
Elite PDIP membentuk Dewan Kolonel, dan relawan Jokowi pro Ganjar mendapuk Dewan Kopral. Tidak ada yang istimewa, tidak ada yang berubah. Kecuali itu menambah jargon politik saja. Hanya jargon, sebab tidak ada pemikiran politik, tidak ada tanda-tanda pergerakan ideologi.
Jelang pemilu rakyat mulai mencium aroma politik tanpa ideologi. Yang ada saling unjuk gigi untuk berebut kemenangan demi kekuasaan. Sekali lagi, kekuasaan. Sebabnya, dari mula kehidupan rakyat ditentukan oleh parpol.
Siapa pun capres yang menang, tidak ada perubahan signifikan bagi kehidupan rakyat. Janji tetap janji, mau mengubah kehidupan negara dan bangsa lebih baik. Mau meningkatkan nasib rakyat ke tingkat ekonomi lebih mapan.
Rakyat seperti sudah hapal lagu janji tinggal janji. Pada gilirannya, rakyat yang diperalat demi kemenangan, janji seperti uap yang sirna oleh waktu. Rakyat akan kembali ke kehidupan rutin, bertaruh nasib tersisih dan terpinggir oleh struktur dan sistem.
Tetap membayar pajak dan kuajiban memenuhi hajat hidup sehari-hari. Bertarung antara nasib dan jalan hidup, sambil setiap saat menyaksikan televisi yang menyiarkan berita kekerasan dan korupsi. Rakyat terus bekerja, seperti yang ditekankan Jokowi: kerja, kerja, kerja.
Ya, rakyat dalam kerja apa pun ibarat buruh tani kecil, terus menanam walau tidak memetik hasilnya. Dalam pada itu koruptor tidak pernah menanam tapi terus memanen tanaman rakyat.
Kata seorang tua: kalau dulu yang korupsi hanya satu orang, sekarang setiap orang korupsi.
Jadi, apa yang diharap dari kolonel dan kopral? Kecuali seperti yang dikatakan seorang elite politik: itu hanya guyon saja.
Rakyat kembali tercenung: betapa kerja keras kami hanya dihadapi dengan gurauan yang tidak lucu.***