Opini

Erick Thohir Tidak Menangkap Ide Saya tentang Mengkoperasikan BUMN

Suroto
×

Erick Thohir Tidak Menangkap Ide Saya tentang Mengkoperasikan BUMN

Sebarkan artikel ini
BUMN
Ilustrasi: Barisanco/Damar.

Mengkoperasikan BUMN bukan membubarkan perusahaan BUMN, tapi mengubahnya menjadi koperasi dari badan hukum perseroan.

MENTERI BUMN baru-baru ini membantah pernyataan saya tentang ide pengkoperasian BUMN yang saya sampaikan dalam diskusi di forum yang diselenggarakan oleh Tim Pemenangan Nasional Anies-Muhaimin, di rumah Perubahan, Jalan Brawijaya (31/1/2024). 

Menurut Erick Thohir, sebagaimana dilansir dari media (3/2/2024), ide tersebut dianggap sebagai pembubaran BUMN. Padahal menurut saya, yang dimaksud adalah mengubah badan hukum BUMN yang selama ini sebagai perseroan menjadi badan hukum koperasi. Maksudnya adalah mengubah kepemilikan negara menjadi kepemilikan secara langsung oleh seluruh masyarakat Indonesia terhadap BUMN tersebut dengan sistem koperasi. 

Jadi Menteri Erick Thohir belum menangkap ide saya. Idenya bukan membubarkan perusahaan BUMN, tapi mengubahnya menjadi koperasi dari badan hukum perseroan.

Tujuanya adalah agar BUMN dapat dirasakan manfaatnya secara langsung oleh masyarakat, dan agar masyarakat dapat turut mengontrol secara demokratis BUMN yang ada dengan sistem badan hukum koperasi. 

BUMN singkatan dari Badan Usaha Milik Negara. Negara ini milik rakyat. Bukan milik Presiden atau Menteri BUMN. Kenapa selama ini kendali BUMN dikuasai semua oleh Presiden dan Menteri BUMN dan kenapa bentuk badan hukumnya harus diperserokan semua? 

Padahal ada kepemilikan demokratis model koperasi yang memungkinkan setiap warga negara ini turut mengontrol BUMN. Koperasi ini juga merupakan badan hukum privat yang sah yang diakui negara dan justru cocok dengan ciri-ciri usaha BUMN yang tak hanya berorientasi profit (keuntungan) tapi pada benefit (manfaat). Koperasi ini juga tegas disebut dalam UUD 1945 sebagai bangun perusahaan yang sesuai dengan demokrasi. 

Selama ini BUMN dikatakan menghasilkan setoran keuntungan untuk negara, tapi keuntungan itu didapat dari subsidi yang diambil dari alokasi APBN, dari uang pajak yang dibayar rakyat. BUMN yang diharapkan memberi kontribusi positif pada keuangan negara justru banyak mengeruk uang negara dan menjadi beban fiskal. 

Pada tahun tutup buku 2021 misalnya, dari 91 BUMN Indonesia yang terdiri dari 12 Perusahaan Umum (Perum) dan 79 Perseroan, laba yang disetor kepada negara dari sumber kekayaan negara dipisah (KND) hanya sebesar Rp37,1 triliun. Padahal, subsidi yang dikucurkan pemerintah untuk BUMN jumlahnya sangat besar. Misalnya, subsidi bunga untuk perbankan pada 2021 sebesar Rp30,1 triliun. 

Hal yang lebih memprihatinkan, BUMN yang diandalkan memberi setoran sangat besar kepada negara adalah dari sektor perbankan. Padahal, BUMN perbankan justru paling banyak memperoleh subsidi dan bentuk insentif lainya berupa modal penyertaan, dana penempatan, dana restrukturisasi, dan lain lain. 

Padahal, BUMN perbankan adalah perusahaan go public. Ia seharusnya mencari sumber tambahan modal dari pasar modal bukan dari pemerintah. Selain memperlemah moral kerja bankir, hal ini juga merusak daya saing perbankan kita dan yang pasti menambah beban fiskal pemerintah yang terus-menerus mengalami defisit necara pembayaran. 

Dari 91 BUMN yang merugi ternyata 41 perusahaan. Bahkan, banyak di antara BUMN selebihnya terjerat utang dan beban bunga cukup besar. Pada tahun 2021 saja, secara keseluruhan BUMN butuh bantuan likuiditas yang menyedot penambahan modal dari negara sebesar Ro79 triliun.